RSS : Articles / Comments


Pura Ulun Danu Buyan Diabaikan

18.19, Posted by simple, No Comment

Pura Ulun Danu Buyan Diabaikan

NASIB Pura Ulun Danu Buyan memang tak sebagus nasib pura ulun danu lain di Bali. Sepanjang sejarah ternyata pura itu tak pernah selesai diperbaiki, bahkan dalam rentang waktu beberapa tahun pura itu sempat tak memiliki pangempon secara resmi dan tak terurus dengan baik. Kondisi itu diperparah dengan sikap pemerintah yang seperti mengabaikan keberadaan pura tersebut, padahal pura itu diyakini sebagai pelindung sumber amerta Danau Buyan.

Untungnya, sejak tiga tahun belakangan ini krama Sad Desa, yakni Desa Pakraman Pancasari, Amertasari, Gitgit, Padangbulia, Pumahan dan Wanagiri mulai jengah. Krama Sad Desa yang menjadi pangempon pangarep Pura Ulun Danu Buyan itu mulai menggalang dana untuk membangun pura agar bagus atau setidaknya bisa menyamai pura khayangan jagat lain di Bali.

Rasa jengah itu muncul ketika air Danau Buyan surut ratusan meter dari tepi danau. Selain disebabkan faktor secara sekala, para prajuru pangempon pura tersebut meyakini bahwa surutnya air danau itu juga disebabkan oleh faktor niskala. Antara lain kondisi pura yang sepertinya tak mendapat perhatian serius. Bangunan palinggih-nya tak lengkap. Bahkan, terdapat dua palinggih, yakni surya dan taksu tempatnya tertukar. Tertukarnya tepat dua palinggih itu terjadi ketika diadakan pemugaran oleh pemerintah daerah pada zaman orde baru dulu. Saat itu pemugaran sepenuhnya dilakukan pemerintah.

Untuk itu, prajuru pangempon kemudian melakukan berbagai pertemuan, selain untuk membangun kembali dua palinggih yang tertukar, mereka juga berkeinginan untuk membangun sejumlah palinggih dan bangunan yang belum ada di areal pura tersebut. Bangunan yang belum ada hingga sekarang adalah Palinggih Gedong Manik Galih, Bale Pedatengan, Bale Panjang dan Bale Gong. Bale Pangaruman memang sudah ada, namun kini kondisinya rusak berat.

Yang baru bisa dilakukan adalah membangun dua palinggih yang tertukar, yakni surya dan taksu. Kini bangunan tersebut sudah selesai, namun belum di-pelaspas. Pembangunan dua palinggih itu menghabiskan dana Rp 48,5 juta. Dana itu diperoleh dari urunan dari Sad Desa masing-masing sebesar Rp 500 ribu dan urunan subak di wilayah Sukasada dan Buleleng masing-masing Rp 500.000. Bantuan lainnya dari Yayasan BOA Rp 10 juta dan Pemprov Bali Rp 30 juta. Sama sekali tak ada bantuan dari Pemkab Buleleng, meski pangempon sempat mengajukan proposal.

Selain melakukan pelestarian danau secara niskala, pangempon pura ternyata melakukan kegiatan secara sekala, misalnya melakukan penanaman pohon di pinggir danau serta melakukan pengerukan untuk membuat sowan di pinggir danau. 'Itu semua dilakukan secara swadaya agar air danau bisa pulih kembali,' kata Wakil Klian Pangempon Pura, Ritama.

Mata Air

Pada saat melakukan pengerukan tepi danau dengan menggunakan alat berat itulah tiba-tiba muncul belasan mata air di tepi danau. Awalnya, para pangempon ingin menciptakan sowan di tepi danau. Karena dulu di tepi danau itu memang terdapat sejumlah sowan, seperti sowan besi, sowan perak dan sowan emas, yang dipercaya sebagai sowan suci. Ketika dilakukan pengerukan ternyata alat berat yang digunakan untuk mengeruk pinggir danau itu terbenam dan tak bisa digerakkan. Di areal alat berat yang terbenam itu kemudian muncul sejumlah mata air yang hingga kini airnya masih mengalir.

Ternyata munculnya mata air tersebut tak mendapat respons dari pemerintah. Mungkin munculnya mata air tersebut dianggap sebagai peristiwa biasa yang memang seharusnya terjadi. Namun bagi pangempon pura dan sejumlah warga di sekitar pura meyakini bahwa munculnya mata air tersebut merupakan paica dari Ida Sang Hyang Widhi yang harus disyukuri. 'Karena itulah kami melakukan upacara mendak tirta di areal munculnya mata air tersebut,' katanya.

Biaya yang dihabiskan untuk upacara mendak tirta tersebut sekitar Rp 16 juta. Semuanya sumbangan masyarakat, sama sekali tak ada dana dari Pemkab Buleleng. Selain melakukan upacara mendak tirta, pangempon juga berencana membangun palinggih di areal munculnya mata air tersebut yang akan difungsikan secara spiritual sebagai palinggih pasimpangan Dewi Danu dan sebagai pura beji. Namun rencana itu belum terwujud karena tak ada biaya.

Selama ini, Ritama mengakui setiap kegiatan di Pura Ulun Danu selalu dilakukan secara swadaya. Pada saat pujawali, misalnya, Pemkab Buleleng memang memberi bantuan sebesar Rp 3 juta. Namun dana yang dihabiskan bisa mencapai Rp 40 juta hingga Rp 50 juta. Dana itu ditutupi dengan iuran dari Sad Desa, desa dinas se-Kecamatan Sukasada dan subak yang jumlahnya sekitar 120 subak yang ada di Sukasada dan Buleleng. 'Saat pujawali desa adat masing-masig mengeluarkan iuran Rp 500.000, masing-masing desa dinas dan subak mengeluarkan iuran Rp 250.000. Tetapi tidak semuanya membayar, dan pangempon tak bisa memaksa,' ujarnya.

Bangun Taman

Ritama menyatakan pihaknya menolak investor yang hendak membangun akomodasi, hiburan dan pariwisata di tengah danau sebagaimana direncanakan PT Anantara. Meskipun, misalnya investor memberi kontribusi yang besar kepada Pura Ulun Danu Buyan. Selain dinilai membuat kesucian danau jadi tercemar, nantinya danau tersebut bisa saja akan dikuasai oleh investor secara arogan. 'Kita sebagai krama bisa saja masuk ke areal danau dengan membayar karcis yang harganya mahal,' katanya.

Untuk itu, Ritama mengusulkan dilakukan penghijauan di tepi danau dengan menanam pohon-pohon perindang yang asri. Selain penghijauan di sekitar danau bisa dibangun taman-taman sederhana sebagai tempat rekreasi keluarga. 'Pengelolaan taman itu bisa diserahkan kepada pangempon pura, misalnya pangempon diberikan pembagian dana yang dipungut dari karcis masuk ke areal taman. Meski kontribusi yang diperoleh sedikit, namun kawasan danau tetap terpelihara baik,' katanya.

Dihubungi terpisah, Ketua PHDI Bali IGN Sudiana meminta Pemprov Bali maupun Pemkab Buleleng mengalokasikan dana segar setiap tahunnya untuk membantu aci piodalan di Pura-pura strategis seperti Pura Ulun Danu Buyan. Apalagi, pura itu sudah nyata-nyata merupakan pura sungsungan jagat sehingga tanggung jawab itu sudah sewajarnya diambil alih oleh pemerintah daerah.

'Tentu sangat memberatkan jika tanggung jawab itu sepenuhnya dibebankan kepada krama pangempon yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Kalau memang benar pemerintah daerah belum membantu pembiayaan aci piodalan di Pura Ulun Danu Buyan, saya berharap pemerintah daerah segera merancang anggaran biaya itu,' katanya penuh harap. (ole/ian)


http://www.balipost.com/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id=10543

Tersedot Gaji Pegawai

19.45, Posted by simple, No Comment


APBD Klungkung Defisit Rp 58,863 Miliar
Semarapura (Bali Post)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Klungkung tahun 2009 mengalami defisit Rp 58,863 miliar. Pendapatan diperkirakan Rp 415,715 miliar, sedangkan belanja diperkirakan mencapai Rp 474,579 miliar. Sebagian besar anggaran belanja tersedot untuk membayar gaji pegawai yang jumlahnya terus meningkat. Apalagi, tahun 2009 dirancang kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS) 15 persen dari tahun sebelumnya.

Hal itu tertuang dalam draf ringkasan Rancangan APBD (RAPBD) Klungkung tahun 2009. Sumber-sumber pendapatan untuk APBD 2009 berasal dari tiga alokasi anggaran yakni Pendapatan Asli Daerah (PAD) diantaranya hasil pajak daerah, retribusi, pengelolaan kekayaan daerah dan lain-lain PAD yang sah Rp 23,695 miliar. Dana Perimbangan (bagi hasil pajak/bukan pajak, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus) Rp 349,283 miliar dan lain-lain pendapatan daerah yang sah (bagi hasil pajak provinsi dan lain, bantuan keuangan provinsi dan pemda lain) Rp 42,736 miliar.

Sedangkan untuk belanja, yang tak langsung (diantaranya pembayaran gaji pegawai yang meningkat seiring kenaikan 15 persen gaji PNS) Rp 289,579 miliar dan belanja tak langsung Rp 184,604 miliar. Belanja langsung, salah satunya belanja modal (biaya pembangunan fisik) hanya mendapat jatah anggaran Rp 82,703 miliar. Defisit yang terjadi dirancang akan dibayarkan dengan menggunakan sisa lebih perhitungan anggaran (Silpa) tahun anggaran sebelumnya Rp 60,863 miliar dipotong Rp 2 miliar untuk penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah.

Kepala Bagian Keuangan Klungkung Putu Gede Winastra, Kamis (29/1) kemarin mengungkapkan, penyusunan RAPBD dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai indikator pembangunan di Kabupaten Klungkung. Diakui, penyusunan draf RAPBD Klungkung terlambat. Salah satunya disebabkan oleh harus dilakukan penyesuaian-penyesuaian dengan Perda Kelembagaan yang baru. Masalahnya, anggaran disusun oleh unit kerja lama yang diperuntukkan bagi unit kerja baru (sesuai kelembagaan baru). "Secara teknis ada sedikit hambatan," sebutnya.

Terkait APBD Klungkung tahun 2009, secara keseluruhan terjadi peningkatan-peningkatan dari tahun 2008. PAD, tahun 2008 dirancang Rp 20,73 miliar (realisasi Rp 24 miliar), tahun 2009 dirancang Rp 23,695 miliar. Total pendapatan 2008 Rp 393,209 miliar, tahun 2009 Rp 415,715 miliar.

Menariknya, di saat daerah lain berlomba-lomba menaikkan bantuan sosial (bansos) apalagi menjelang perhelatan akbar demokrasi (Pemilu, April 2009), rancangan bansos di Kabupaten Klungkung tahun ini justeru menurun. APBD Induk tahun 2008, Klungkung memplot bansos Rp 7,44 miliar, belum lagi bansos di APBD perubahan. Tahun 2009, hanya Rp 6,918 miliar.

Ditanya mengenai hal itu, Winastra megaku tak tahu pasti. Untuk rancangan sementara, diperkirakan (kebutuhan dana bansos, red) memang sebesar itu. "Kalau kurang kan bisa dianggarkan pada APBD Perubahan," ujarnya. (kmb20)
http://www.balipost.com/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id=10508

PT Anantara Siap Mundur dari Buyan

11.00, Posted by simple, No Comment


Jika Penolakan Krama Bali Sangat Kuat
KUATNYA penolakan komponen masyarakat Bali terhadap eksploitasi di Danau Buyan membuat PT Anantara kembali pikir-pikir. Tetapi kalau penolakannya sangat kuat, mereka tidak memasalahkan untuk tidak menanam modal di kawasan tersebut.

Dari perbincangan dengan Komisaris PT Anantara Lilia Sukotjo, Kamis (29/1) kemarin, terungkap bahwa pihak manajemen PT Anantara masih pikir-pikir apakah melanjutkan rencana pengembangan kawasan tersebut atau membatalkan niatnya untuk mengurus perizinan ke Menteri Kehutanan untuk mengelola hutan sekitar 600 hektar. 'Kami masih pikir-pikir. Persoalan ini masih dibicarakan di internal,' katanya melalui telepon.

Lilia mengakui tidak menyangka wacana pengelolaan kawasan Danau Buyan menyentuh pada hal-hal yang sangat sensitif. Karena itu pihaknya tak mau berbicara dulu kepada publik seputar respons penolakan masyarakat Bali seputar rencana pengembangan kawasan Danau Buyan. 'Tolong beri kami waktu untuk membicarakan masalah ini di dalam dulu,' katanya.

Apakah penolakan komponen masyarakat Bali yang sangat kuat atas rencana pengembangan Danau Buyan akan menjadi pertimbangan? 'Okelah kalau penolakannya sangat kuat, kami tidak apa-apa tidak berada di situ,' katanya.

Namun pertanyaannya, siapa yang bertanggung jawab memperbaiki kehidupan masyarakat petani selanjutnya? 'Terus terang pertanyaan ini sangat mengganggu benak kami,' kata Lilia. Sebab, dari obrolan dengan para petani strawbery di Pancasari, mereka mengharapkan bantuan investor untuk mengangkat kehidupan ekonominya melalui pertanian organik. Ini kan sebuah persoalan yang mesti dipecahkan. (029)

'Workshop'' HaKI di Gedung Pers Bali

19.35, Posted by simple, No Comment

'
Perlu Perda Lindungi Perajin
Denpasar (Bali Post) -
Untuk meniadakan tuntutan hukum pada perajin Bali dan menghindarkan desain tradisional Bali dipatenkan pihak asing, maka DPRD bersama Pemprov Bali harus berinisiatif membuat perda yang melindungi desain-desain yang sudah menjadi milik masyarakat Bali. Demikian terungkap dalam acara workshop yang digagas Departemen Luar Negeri bekerja sama dengan Kelompok Media Bali Post, Rabu (28/1) malam kemarin. Workshop tentang hak cipta yang diikuti puluhan perajin perak dan pengurus asosiasi tersebut berlangsung di Gedung Pers Bali Ketut Nadha.

Perlunya perda tersebut disampaikan Direktur Kerja Sama dan Pengembangan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Hukum dan HAM Ansori Sinungan. Sebelumnya, Pimpinan Kelompok Media Bali Post Satria Naradha juga menegaskan hal serupa. Kata Satria, kehadiran jajaran Deplu dan segenap timnya diharapkan turut memberikan sumbang pikiran untuk perajin di Bali, sehingga perajin-perajin Bali dan Indonesia umumnya bisa bangkit dalam persaingan global. ''Pers memang berusaha untuk turut memberikan mediasi terhadap permasalahan tersebut. Tentunya, ada langkah-langkah strategis yang mesti diambil para perajin maupun pemerintah khususnya Departemen Luar Negeri, sehingga di kemudian hari produk unggulan ini bisa menembus pasar luar negeri,'' ujarnya.

Sementara itu, Ansori Sinungan menegaskan, sekitar 70 persen produk ekspor Indonesia khususnya produk kerajinan tidak dilindungi Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Ironisnya lagi, tidak sedikit dari produk-produk karya anak bangsa itu sudah lebih dulu didaftarkan atau dipatenkan oleh pihak luar, sehingga pemasaran produk-produk itu di negara tujuan praktis terhambat.

Menurut Ansori Sinungan, tingkat kesadaran perajin atau kalangan usaha kecil menegah (UKM) di Indonesia mendaftarkan karya-karya kreatifnya relatif rendah. Sebagai contoh, hanya lima persen dari mereka yang tergerak mendaftarkan desain industri mereka ke Departemen Hukum dan HAM. Padahal, pendaftaran desain industri itu merupakan hal yang mutlak guna melindungi produksi mereka dari risiko pengklaiman oleh pihak luar.

Sementara itu, Direktur Jenderal Amerika dan Eropa Departemen Luar Negeri Retno LP Marsudi dalam kata sambutannya mengatakan, hak paten menjadi salah satu penyebab timbulnya hambatan di dalam ekspor perdagangan produk budaya kreatif dari kalangan perajin Indonesia di luar negeri. Munculnya kasus gugatan hukum terhadap salah seorang perajin produk budaya kreatif Bali atas tuduhan peniruan hak cipta motif kerajinan perak Bali, merupakan suatu kejadian yang sangat ironis dan patut dibahas bersama. Munculnya masalah gugatan hukum atas hak cipta kepada salah satu perajin di Indonesia itu dapat diidentifikasikan sebagai faktor yang secara tidak langsung menghambat perdagangan ekspor komoditas budaya kreatif Indonesia ke luar negeri, khususnya ke kawasan Amerika dan Eropa.

Departemen Luar Negeri sangat menyadari persoalan tersebut. Untuk itu, kata Retno LP Marsudi, perlu segera dibicarakan bersama agar dapat diperoleh jalan pemecahan yang tidak merugikan perajin itu sendiri di masa datang.

Direktur Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Departemen Luar Negeri Damos Dumoli Agusman juga mengatakan hal serupa. Damos juga mengingatkan kepada masyarakat khususnya perajin, untuk mendaftarkan karya-karyanya, sehingga tidak terjadi permasalahan ketika dijual di pasar dunia. Untuk kepentingan itu, pemerintah siap memberikan mediasi sehingga perajin bebas dari tuntutan hukum.

Workshop itu juga menampilkan Ketua Asosiasi Perajin Perak Bali Desak Made Suarti. Senada dengan komunitas perajin yang hadir dalam workshop tersebut, Suarti mendesak pemerintah agar lebih proaktif melindungi aset-aset seni budaya bangsa dari penjarahan pihak asing. Seperti diungkapkan Mudita. Ia mengharapkan pemerintah proaktif memberikan perlindungan kepada perajin. Kalau tidak maka kreativitas para perajin akan mati suri. (ian)

Tentang Danau Buyan

09.32, Posted by simple, No Comment

Tentang Danau Buyan
Izin Keluar, PHDI akan Bertindak
RUPANYA PHDI Bali telah pernah bertemu dengan Gubernur Bali Mangku Pastika dan jajaran terkait rencana investasi di Danau Buyan. Dalam pertemuan itu, PHDI Bali secara tegas menyatakan menolak investasi di kawasan suci, termasuk Danau Buyan. 'Sikap serupa pernah pula disampaikan kepada Dewa Made Beratha (saat menjadi Gubernur Bali). Ketika itu Dewa Beratha merespons dengan menolak investasi di Danau Buyan,' kata Ketua PHDI Bali Ngurah Sudiana, semalam.

Rupanya, kata dia, PT Anantara mengeluarkan jurus baru lagi mendekati pihak eksekutif untuk meloloskan keinginannya mengembangkan investasi di Danau Buyan. Namun sikap PHDI Bali tetap sama, menolak segala bentuk investasi di kawasan suci. Sebab, sesuai agama Hindu, danau, gunung dan laut merupakan utamaning mandala Bali.

Lalu apa yang akan dilakukan apabila eksekutif melabrak bhisama dan masukan yang diberikan PHDI? Secara tegas ia menyatakan akan melakukan tindakan yang strategis demi menyelamatkan Bali. 'Kami akan melakukan langkah-langkah strategis apabila eksekutif mengeluarkan izin pengelolaan Danau Buyan,' jelasnya.

Apa langkah yang akan dilakukan, ia menyatakan belum saatnya disampaikan ke publik. Apakah itu menyangkut dengan hukum? Ia juga tak mau membuka rahasia tersebut. 'Pokoknya kami telah memiliki rencana strategis, apabila pemerintah melanggar bhisama tersebut,' jelasnya.

Sementara itu, Guru Besar IHDN Denpasar Prof. Drs. Ketut Subagiasta, D.Phil. menyatakan eksekutif sudah semestinya menghormati bhisama yang dibuat oleh sulinggih. Bahkan, seharusnya hal itu dijadikan dasar pijakan dalam mengelola Bali. Sebab, bhisama itu pelindung Bali (Hindu) dari sisi spiritual.

Bhisama kesucian pura, misalnya, lanjut Subagiasta, mutlak dijadikan dasar pijakan dalam membangun Bali. 'Mesti dipahami, napas pembangunan Bali adalah agama Hindu. Karena itu pemikiran-pemikiran mulia para sadaka (sulinggih) mesti dihormati dan dijadikan pijakan demi keharmonisan pembangunan di Bali,' ujar guru besar yang menyelesaikan program doktor di India tersebut.

Sudiana yang kandidat doktor Kajian Budaya Unud ini menegaskan, bhisama yang dilahirkan sulinggih itu sesungguhnya bertujuan untuk melindungi alam dan masyarakat Bali dari ancaman spiritual dan material. Karena itu, dalam mengambil keputusan menyangkut pemanfaatan alam Bali, guru wisesa (pemerintah) mesti melibatkan Parisada, termasuk menggunakan pemikiran mulia paruman sulinggih seperti bhisama. Jangan sampai muncul masalah, baru meminta pertimbangan Parisada. Pemanfaatan alam Bali untuk pembangunan mesti berdasarkan kajian-kajian yang matang dan mengindahkan bhisama sulinggih. Sebab, pembangunan fisik sangat riskan terhadap hal-hal yang asucih -- yakni lawan dari hal-hal yang bernuansa kesucian.

Sudiana menambahkan, Perda No.3/2005 tentang Tata Ruang Bali sesungguhnya sudah mengakomodasi bhisama kesusian pura, tetapi sosialisasinya ke masyarakat belumlah maksimal. 'Kita sesungguhnya telah memiliki perda tata ruang yang bagus, tetapi pelaksanaannya belum maksimal,' katanya. (08)

Bangkitkan Taksu Bali dan Lestarikan Budaya lewat Sanggar Seni Surya Chandra

18.10, Posted by simple, No Comment

KELEBAT teja semburat merona, ufuk timur merekah merah. Mbas sang Hyang Surya Candra menyinari jagat raya menabur rona semesta alam nan kelam tersaput malam. Purnama benderang surya chandra menembus lorong waktu menerabas relung sukma baik kilatan busur asmara Dewi Ratih, mematri lahirnya taksu seni budaya timur raya. Dari bumi hulunya Bali, pusat parahyangan stana dewata Karangasem.

Lantunan syair itu terdengar merdu mengawali peresmian sanggar multi-etnik lintas budaya Surya Chandra di Puri Gede Karangasem. Tampilan beragam seni dan budaya dari berbagai daerah oleh para seniman tersohor di Karangasem menambah acara yang berlangsung Kamis (17/7) malam lalu makin meriah.

Kegiatan yang dikemas secara apik tersebut melibatkan 200 seniman mulai dari anak-anak, remaja hingga dewasa. Suguhan tarian Surya Chandra ciptaan A.A. Ayu Ngurah Tini Rusmini Gorda, S.H., M.M. membuat pengunjung yang datang makin terpukau.

Sanggar Surya Chandra menjadi salah satu daya tarik wisatawan yang datang ke Bali, khususnya di Karangasem. Di tempat ini, semua orang dari berbagai suku, adat, budaya dan agama bisa belajar beragam kesenian Nusantara.

Tak mengherankan, tempat ini dilengkapi sarana-prasarana kesenian seperti tabuh dan gong yang didukung pembina dan pelatih yang berasal dari berbagai unsur. Uniknya, pengunjung bisa belajar tarian Surya Chandra di sini.

A.A. Ayu Ngurah Tini Rusmini Gorda, S.H., M.M., pembina Sanggar Surya Chandra menuturkan, berdirinya sanggar multi-etnik ini sebagai cara mewujudkan misi dan visi Puri Gede Karangasem yakni sebagai pusat inspirasi seni, budaya dan spritual.

Sanggar Surya Chandra membuka pintu selebar-lebarnya bagi semua lapisan masyarakat Karangasem, terutama pecinta seni, budaya dan spiritual baik anak-anak, remaja dan masyarakat umum untuk belajar menggali potensi seni dan budaya yang masih terpendam agar dapat dikembangkan sehingga terpelihara dengan baik.

Surya Chandra juga menjadi wadah kreativitas seni, vokal, tari, dan tabuh. "Untuk itu Puri Gede Karangasem bermaksud menampung semua seniman dalam satu wadah sanggar seni lintas budaya Surya Chandra," ujar wanita yang karib disapa Gung Tini ini.

Surya Chandra sekaligus bisa menjadi salah satu daya tarik pariwisata yang bisa menunjang kesejahteraan masyarakat Karangasem dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan. Menurut Gung Tini, tak hanya seniman yang bisa berkarya dalam seni dan budaya, seluruh lapisan masyarakat pun bisa belajar seni dan budaya guna mewarnai kesemarakan khasanah seni dan budaya. "Bukankah seni dan budaya mencerminkan tingginya martabat manusia," ucapnya.

Menurut Gung Tini sebagai Purwaning Hulu Jagat Bali, Karangasem harus mampu mempertahankan dan melestarikan budaya daerah. "Dengan hadirnya sanggar Surya Chandra, Puri Gede Karangsem akan memunculkan parbe taksu jagat Bali yang akan menjadi kekuatan spiritual dalam menjaga kelestarian dan keajekan Bali," katanya. Gung Tini menambahkan masyarakat tak perlu risau, belajar seni dan budaya di sanggar ini tak dikenakan biaya. —lik

Susunan Pengurus Sanggar Seni Surya Chandra Puri Gede Karangasem

Penasihat : A.A. Bagus Ngurah Agung, S.H., M.M.
Pembina : - Kadis Pendidikan Kabupaten Karangasem
- Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karangasem
- A.A. Ayu Sasih
- A.A. Ayu Ngurah Tini Rusmini Gorda, S.H., M.M.
- A.A. Ngurah Darma Sanjaya, S.H.
- A.A. Raka Sidan
Ketua : Ida Ayu Ratih Ratna Dewi
Sekretaris : Ni Made Suradnyani
Bendahara : Mekele Kusumasari, A.A. Mas Sri Andari
Seksi Musik & Vokal : - I Gusti Bagus Bengkel
- I Kadek Budiarta
- I Komang Juniantara
- Ibu Yanik
Seksi Tabuh : I Ketut Nanda
Seksi Tari :- Dudek Suhardika
- Dewa Rupania
- Ni Made Suradnyani
Peelengkapan: I Komang Adi Swastika

I Gusti Agung Putri Astrid Kartika Perjuangkan Hak Asasi Man

18.08, Posted by simple, No Comment



WIRATIKeterlibatannya secara aktif dalam perjuangan memperbaiki nasib rakyat sejak mahasiswa lebih dari 20 tahun lalu, mendorong I Gusti Agung Putri Astrid Kartika bergabung dengan PDI Perjuangan.

Ia banyak belajar ajaran Bung Karno khususnya tentang harkat bangsa yang merdeka dan bebas dari penjajahan di segala bidang dari ayahnya I Gusti Ngurah Oka, seorang ahli sastra dan bahasa Kawi, asal Puri Kapal Kaleran, Mengwi, Badung.

Keterlibatannya dalam parpol telah dimulai sejak peristiwa 27 Juli 1996, ketika Gung Tri, begitu ia akrab disapa bersama para korban kekerasan berjuang mengungkapkan peristiwa itu dan menegakkan kebenaran dan keadilan.

Bersama Fraksi PDI Perjuangan di DPR RI, ia bekerja sama memperjuangkan pengesahan UU HAM No. 39/1999 dan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan banyak lainnya.
Selanjutnya

Forum Ajeg Bali

17.37, Posted by simple, No Comment


Tolak Eksploitasi Danau Buyan
Amlapura (Bali Post)
Pelanggaran terhadap bhisama terus saja terjadi. Hal ini mencerminkan tidak adanya penghormatan terhadap para sulinggih yang telah menggodok bhisama tersebut. Demikian pula tidak ada penghormatan terhadap lembaga tinggi umat Hindu, PHDI, yang mengeluarkan bhisama tersebut. Oleh karena itu, agar kasus pelanggaran bhisama tidak terus-terusan terjadi, maka bhisama harus diperdakan sehingga mempunyai kekuatan legal formal. Demikian terungkap dalam diskusi yang diadakan Forum Ajeg Bali, di Ulun Kulkul, Besakih, pada malam Siwaratri (Sabtu, 24/1).

Diskusi yang dihadiri sejumlah tokoh dan lembaga yang concern dalam penyelamatan Bali ini, membahas tentang adanya rencana investor mengeksploitasi Danau Buyan. Diskusi ini juga menghadirkan dua narasumber yakni Begawan Dwija Sandi dan Pemangku Pura Goa Raja I Gusti Mangku Kabayan Manik Arjawa.

Begawan Dwija menyesalkan bhisama yang sebelumnya digodok para sulinggih seperti macan ompong. Sebab, sama sekali tidak menjadi acuan para pejabat di Bali yang notabene sebagian besar umat Hindu. Terbukti telah banyaknya bangunan yang semestinya tidak boleh ada di kawasan suci telah berdiri di kawasan tersebut. Jadi apa yang diucapkan bahwa menghormati para sulinggih, sama sekali tidak benar. 'Terbukti produk para sulinggih tidak dijadikan acuan dalam mengambil keputusan apabila investor berkeinginan membangun di kawasan suci,' jelasnya datar.

Oleh karena itu, ia memberi solusi agar Bhisama PHDI itu diperdakan, sehingga mempunyai kekuatan legal formal. Selain itu, akan menjadikan keharusan bagi eksekutif untuk melaksanakannya serta akan terkena sanksi bila dilanggar. Demikian pula DPRD akan mempunyai kewajiban untuk mengawasi dan mengontrol terhadap pelanggaran bhisama yang telah menjadi perda. Terkait pembangunan di Danau Buyan, Begawan Dwija Sandi dengan tegas menolaknya, karena hal itu membahayakan alam Bali.

Hal senada juga diungkapkan Gusti Mangku Kubayan Manik Arjawa. Bahkan, ia menyatakan sebuah purana yang menyebutkan barang siapa yang berani mengusak-asik laut, gunung dan danau akan terjadi sesuatu pada Bali. 'Apakah hal itu dikehendaki terjadi pada Bali,' tanyanya sembari menyatakan semua itu tergantung para pejabat karena merekalah yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan izin untuk legalnya sebuah investasi di kawasan suci.

Sementara itu, Mangku Sunartha menyatakan kericuhan investasi yang terjadi di Bali sekarang ini dikarenakan telah terjadi degradasi moral. Tidak saja terjadi di masyarakat juga para pejabatnya. Mereka hanya berorientasi uang. Pendekatan yang digunakan dalam meloloskan investasi hanya berdasar kepentingan ekonomi. Penyelamatan lingkungan, penyelamatan Bali dan penyelamatan budaya sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Kalau toh ada, hal itu hanya ada dalam wacana, bukan dalam tataran implementasi.

Tak kalah pedasnya pernyataan Wayan Budi Arsana dari Sekaa Demen Bali. Ia menuding investor yang datang ke Bali hanya manis di bibir. Ia menyebut contoh tentang rekrutmen tenaga kerja. Awalnya, memang sebagian besar tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga lokal. Namun pelan tapi pasti, mereka akan digusur dengan tenaga dari luar dengan alasan tenaga lokal kurang profesional. Yang disisakan untuk tenaga lokal hanya satpam dan tukang kebun.

Lalu siapa yang mengontrol ini, bahwasanya janji investor mempekerjakan 60 persen tenaga lokal sudah tak ditepati. Ini juga mesti dibuat aturan tegas, bahwa investor harus mempekerjakan 60 persen tenaga lokal. Kalau mereka menganggap tenaga lokal kurang profesional, adalah tanggung jawabnya untuk melatih. 'Ini sebuah tanggung jawab sosial. Bukan malah melempar dan mengganti dengan tenaga luar,' terang Arsana yang mantan karyawan hotel.

Sementara itu, pengamat lingkungan Dr. Luh Kartini menyatakan, apa pun alasannya, pemanfaatan Danau Buyan untuk kepentingan investasi harus ditolak. Hal ini juga sesuai dengan rekomendasi yang dikeluarkan forum diskusi yang dimediatori Prof. Wijaya. Ia mengatakan Forum Ajeg Bali sepakat menolak segala bentuk investasi di Danau Buyan. Selain melanggar kawasan suci, juga melanggar perda dan peraturan perundang-undangan pemanfaatan air. (019)

http://www.balipost.com/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id=10368

Menjaga Harmoni Alam Bali

06.07, Posted by simple, No Comment

Menjaga Harmoni Alam Bali
Danau, Laut, dan Gunung Harus Tetap Dijaga
Air merupakan sumber kehidupan. Karena itu, air dan sumber air seperti danau, jangan sampai diganggu atau dirusak. Demikian pula sungai dan laut jangan dicemari. Jika ini diganggu dan terganggu, dampak buruknya akan sangat dirasakan oleh umat. Demikian dikatakan dosen IHDN Made Surada, dosen Unhi Denpasar Wayan Budiutama dan A.A. Anom Kumbara serta dosen Universitas Negeri Yogyakarta A.A. Suryadarma.

UNSUR alam yang meliputi pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa (panca mahabhuta) penting dijaga agar tidak sampai tercemar dan mengalami kerusakan. Air, udara, dan tanah (pertiwi) mesti dijaga dengan baik. Jika itu tercemar, dampaknya akan dirasakan masyarakat. 'Unsur-unsur vital dalam buana agung itu mesti dijaga. Jika itu mengalami disharmoni, buana alit akan terkena dampaknya. Jika buana agung rusak, buana alit juga akan terkena dampak,' ujar Surada.

Dikatakannya, danau sangat disakralkan oleh umat Hindu. Danau itu berfungsi untuk penampung air sekaligus mengalirkan air ke kawasan sekitarnya sebagai sumber kehidupan. Air danau akan tetap tersedia manakala alam di sekitarnya tetap dilestarikan--pepohonannya dijaga, jangan sampai dibabat. Ketika turun hujan, pepohonan inilah yang berfungsi menahan air, kemudian tertampung di danau. Jika danau sampai dieksploitasi untuk kepentingan lain, fungsinya sebagai sumber air terganggu.

Suryadarma menambahkan air sangat diperlukan dalam kehidupan. Bahkan, hampir 80 persen tubuh manusia terdiri atas air. Karena itu, sumber-sumber air seperti danau mesti dijaga dan dipelihara. Ia tak setuju danau sampai dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Agar air tetap tersedia, tak mengalir begitu saja di permukaan tanah dan hanyut ke laut saat hujan, pohon-pohon mesti ditanam di daerah hulu. Hutan di sekitar danau mesti dilestarikan. Lanjut Surada, tak hanya danau, laut dan gunung pun mesti jangan dicederai. Gunung dan laut bagi umat Hindu amat disakralkan, karena memiliki nilai-nilai filosofi. Dalam konteks nyegara-gunung (hubungannya dengan upacara pitra yadnya), laut dan gunung amatlah disucikan. Termasuk juga dalam upacara melasti, mekiyis. Jika kawasan-kawasan yang disucikan itu diganggu, kita bisa bayangkan nasib Bali ke depan.

Anom Kumbara dan Budiutama mengatakan untuk menghindari terjadinya kerusakan lingkungan, perlu ada semacam regulasi positif. Artinya, lewat penegakan sanksi hukum positif, diharapkan ada efek jeranya. Perlu ada penegakan hukum positif agar lebih mengikat. Mereka yang melakukan pencemaran air danau, sungai, laut dan sebagainya mesti ditindak tegas. 'Danau mesti tetap disakralkan. Jika telah diprofanisasi, kita akan kehilangan danau sebagai sumber air, tempat melasti dan kegiatan ritual lainnya,' katanya. (lun)

sumber @ http://balipost.com/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id=10340

Tempat Melimpahkan Keselamatan Umat

17.28, Posted by simple, No Comment


Tempat Melimpahkan Keselamatan Umat
KEINDAHAN alam kawasan danau Buyan (Buliyan) dan Danau Tamblingan memang menakjubkan. Kawasan itu membawa pengaruh kesucian dan ketenteraman batin bagi siapa saja yang datang berkunjung menikmati pemandangan alamnya. Keindahan dan kesan kesucian itu akhir-akhir ini menjadi perhatian kaum pebisnis untuk memanfaatkannya secara ekonomi. Namun sebelum mengambil keputusan, ada baiknya kita membuka buku sejarah, lontar, prasasti dan bhisama-bhisama yang terkait dengan kawasan itu, sekaligus mencoba meninjau proyek-proyek wisata dari aspek spiritual-religius.

Kawasan Suci

Rg Veda Samhita, Mandala VIII, Sukta 6.28 menyatakan: upahvare girinam samgathe ca nadinam, dhiya vipro ajayata: (Indra) yang bijaksana telah dilahirkan oleh upacara suci di atas lereng-lereng gunung, di antara danau dan sungai-sungai. Reg Veda Samhita, Mandala II, Sukta 35.3: sam anya ganty upa yanty anyah, samanam urvam nadyah prnanti, tam u sucim sucayo didivamsam, apam napatam pari tasthur apah: beberapa aliran air berkumpul bersama, yang lainnya bergabung dengannya, bagaikan sungai-sungai mereka mengalir bersama menuju suatu tempat penampungan (danau/laut), air murni telah berkumpul mengelilingi kekuatan, bening/suci dan bersinar kemilauan. Selain itu, Atharvaveda XII.1.38 menyatakan pula: yasyam sadoha virdhane yupo yasyaam nimiyate, brahmano yasyamaracantyurgbhih samna yajurvidah, yujyante yasyamrtvijah somam indraya patave: di tempat-tempat suci, di mana didirikan yupa/pura tempat para brahmana yang menguasai Yayurveda memuja Tuhan dengan Rgveda dan merapalkan Samaveda, di sanalah Tuhan melimpahkan kebahagiaan dan keselamatan bagi umat manusia.

Berdasarkan kitab-kitab suci Veda itulah, Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat telah mengeluarkan Keputusan Nomor: 11/Kep/I/PHDIP/1994 tanggal 25 Januari 1994 tentang Bhisama Kesucian Pura, di mana ditetapkan bahwa kawasan suci di Bali meliputi gunung, danau, campuhan (pertemuan sungai-sungai), pantai, dan laut. Selain itu kawasan suci meliputi pula lingkungan lokasi pura yang dibedakan menjadi Pura-pura Sad Kahyangan, Dang Kahyangan, Kahyangan Jagat, pura dari pagujuban warga, dan Sanggah/Pamerajan. Wilayah kesucian yang patut dijaga mencakup lingkungan sekitar Pura-pura ditetapkan dengan jarak dalam istilah apenimpug, apeneleng, apengambuhan, dan apenyengker. Apenimpug adalah jarak yang diperoleh dengan melemparkan batu sebesar genggaman oleh seorang dewasa. Apeneleng adalah jarak batas kemampuan mata memandang. Apengambuhan adalah jarak terciumnya bau yang tidak sedap akibat berbagai aktivitas manusia. Apenyengker adalah batas tembok pura atau sanggah/pamerajan.

Dalam kitab suci Wisnu Purana, gunung disucikan karena diyakini sebagai stana Dewa Wisnu, yakni manifestasi Hyang Widhi (Tuhan YME) sebagai pemelihara dan pemberi kemakmuran kepada umat manusia. Demikian pula air dalam wujud sebagai mata-air, danau, sungai dan laut yang memberikan kehidupan dan kesuburan alam semesta. Dalam pengertian ini terkandung prinsip utama bahwa tiada kehidupan makhluk apa pun dapat bertahan tanpa adanya air yang bersumber dari hutan di pegunungan.

Lebih lanjut Parisada dalam keputusan itu menetapkan bahwa konsep Tri Hita Karana harus dipertahankan agar terwujud kesejahteraan umat manusia. Tri Hita Karana adalah tiga hal yang menyebabkan kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan, yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut sebagai parhyangan, hubungan yang harmonis antara sesama manusia yang disebut sebagai pawongan, dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam semesta yang disebut sebagai palemahan. Tri Hita Karana telah diyakini kebenarannya, tidak hanya oleh pemeluk Hindu saja tetapi juga oleh masyarakat dunia, karena bila sudah satu hubungan itu tidak harmonis maka malapetaka akan menimpa dunia dan umat manusia serta makhluk lainnya.

PHDI menegaskan, dalam upaya menjaga kawasan suci dan terwujudnya Tri Hita Karana, maka kegiatan pembangunan fisik sarana dan prasarana oleh pihak pemerintah maupun swasta harus mengikutsertakan umat Hindu dan memohon persetujuan para sulinggih (pendeta) mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasannya. Pada keputusan Parisada di atas, ditetapkan pula bahwa di kawasan suci hanya boleh ada bangunan yang terkait dengan kehidupan beragama Hindu misalnya dharmasala, ashram, dll. yang menunjang kegiatan umat Hindu melakukan ritual, pendalaman rohani, tirtayatra, dharma-wacana/dharma-tula, dharma-gita, dharma-sadhana, dll.

'Sanghyang Naga Tiga'

Dalam Lontar Kusuma Dewa diungkapkan tentang keadaan Batara di bhuwana agung (jagat raya) sebagai Maha Meru yang puncaknya mencapai angkasa dan pangkal dasarnya menembus sapta petala. Maha Meru atau gunung adalah tempat pertemuan para dewata dalam menciptakan ala (keburukan) dan ayu (kebaikan) di dunia. Oleh karena demikian, pentingnya peranan gunung, maka gunung dibelit (dijaga) oleh Sanghyang Naga Tiga, yaitu yang terbawah adalah Sanghyang Naga Anantabhoga sebagai perwujudan Batara Brahma, yang di tengah adalah Sanghyang Naga Basuki sebagai perwujudan Batara Wisnu, dan yang di puncak adalah Sanghyang Naga Taksaka sebagai perwujudan Batara Iswara. Batasan bagian bawah gunung adalah sapta petala, di mana lapisan ketujuh yang disebut ratala adalah magma dan zat-zat panas yang disebut juga Bedawangnala. Kata 'bedawangnala' berasal dari: 'beda' artinya ruang, 'wang' artinya keberadaan, dan 'nala' artinya api. Bedawangnala disimbulkan sebagai kura-kura. Keajegan gunung ditentukan oleh keutuhan bedawangnala. Oleh karena itu bedawangnala dibelit oleh dua naga yaitu Sanghyang Naga Anantabhoga dan Sanghyang Naga Basuki. Anantabhoga artinya sumber makanan, dan Basuki artinya keselamatan. Dari pengertian-pengertian di atas dapatlah disimpulkan, Lontar Kusuma Dewa menggugah kesadaran bahwa bumi dengan intinya gunung adalah sumber kemakmuran, sumber makanan yang tidak habis bagi kesejahteraan manusia sebagai anugerah Batara Brahma, Batara Wisnu dan Batara Iswara, yang harus dijaga keajegannya.

Ki Barak dengan Ki Panji Landung

Dalam sejarah (Babad Buleleng) ditulis bahwa pada tahun 1611 (Masehi), di atas Danau Buyan (sebelah utara) muncullah secara misterius Batara Ki Panji Landung yang mengangkat Ki Barak ke atas telapak tangannya, serta mengatakan bahwa kelak, Ki Barak akan menjadi raja di wilayah yang dilihatnya dari ketinggian tubuh/tangan Ki Panji Landung. Wilayah itu adalah Den Bukit. Anugerah Ki Panji Landung ini menjadi kenyataan, karena tak lama kemudian Ki Barak berhasil menewaskan penguasa Den Bukit di masa itu yang bernama Pungakan Gendis. Beliau kemudian menjadi raja pertama Den Bukit bergelar Kiyai Anglurah Panji Sakti.

Tulisan Minggu besok akan mengulas tentang Prasasti Tamblingan tahun 844 Saka dan Pura-pura yang ada di kawasan Bedugul. (*)


Oleh Bhagawan Dwija

sumber @ http://www.balipost.com/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id=10274

Siwaratri, Momen Introspeksi Diri

17.07, Posted by simple, One Comment

Sabtu (24/1) ini, umat Hindu kembali merayakan Siwaratri. Hari suci yang datang setahun sekali itu dirayakan tepat pada hari ke-14 paruh gelap, bulan ketujuh (panglong ping 14 sasih kapitu). Lalu, apa sesungguhnya hakikat Siwaratri?

PENGAMAT agama Gusti Ketut Widana mengatakan, secara tatwa sesungguhnya Siwaratri merupakan malam perenungan dosa, (bukan peleburan dosa), dengan tujuan tercapainya kesadaran diri. ''Secara tatwa, sesungguhnya Siwaratri itu simbolisasi dan aktualisasi diri dalam melakukan pendakian spiritual guna tercapainya 'penyatuan' Siwa, yaitu bersatunya atman dengan paramaatman atau Tuhan penguasa jagat raya itu sendiri,'' katanya, Jumat (23/1) kemarin.

Sebagai malam perenungan, umat mestinya melakukan evaluasi atau introspeksi diri atas perbuatan-perbuatan selama ini. Pada malam pemujaan Siwa ini umat mohon diberi tuntunan agar keluar dari perbuatan dosa.

Sementara dalam konteks kekinian, tokoh Lubdaka dalam teks cerita Mpu Tanakung dinilai telah mengalami ''reinkarnasi'' menjadi Lubdaka-Lubdaka kontemporer. Misalnya, bereinkarnasi menjadi orang-orang yang ''memburu'' danau, gunung, loloan, laut dan hutan, dengan tujuan mengeruk dan menumpuk keuntungan.

Lanjut Widana, perlakuan Lubdaka kontemporer melakukan eksploitasi terhadap kawasan yang disucikan umat Hindu itu, sangatlah kontradiktif dengan praktik yadnya yang dilakukan umat Hindu, seperti wana kerthi, samudera kerthi, danu kerthi dan giri kerthi. Yadnya itu digelar dengan tujuan mencapai keharmonisan alam.

Pada saat Siwaratri inilah para Lubdaka kontemporer mesti melakukan introspeksi. Mudah-mudahan setelah itu mereka tidak berambisi mencederai danau dan menambah dosa.

Dosen IHDN Denpasar Made Surada mengatakan hal yang sama. Malam Siwaratri merupakan momen introspeksi diri, guna menyadari perbuatan-perbuatan dosa atau kekeliruan selama ini.

Dikatakannya, teks-teks atau purana yang menjadi landasan perayaan Siwaratri cukup beragam seperti Padma Purana, Siwa Purana, Siwaratrikalpa dan sebagainya. Lewat kekawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung, umat tampaknya lebih mudah memaknai esensi Siwaratri.

Waktu pelaksanaan Siwaratri pun dipilih yakni waktu yang paling tepat -- panglong ping 14 sasih kapitu. Saat itulah umat melakukan brata Siwaratri seperti upawasa (puasa), monobrata (diam) dan jagra (melek atau tak tidur semalam).

Surada menambahkan, umat manusia dalam perjalanan hidupnya tentu banyak memiliki kekurangan. Karena itu hari suci Siwaratri ini merupakan momen yang tepat untuk melakukan perenungan atau penyadaran diri. ''Apa yang telah dilakukan selama ini. Dari introspeksi itu diharapkan terjadi peningkatan diri atau pembenahan-pembenahan untuk mencapai suatu keharmonisan,'' ujarnya.

Sementara dalam buku ''Memahami Makna Siwaratri'' karangan IBG Agastia disebutkan, ada sejumlah sumber Sansekerta memuat uraian tentang Siwaratri yaitu Siwa Purana, Skandapurana, Garuda Purana, dan Padma Purana. Sementara sumber Jawa Kuno juga memuat tentang Siwararti yakni kekawin Siwaratrikalpa -- yang dalam kehidupan masyarakat lebih dikenal dengan sebutan kakawin Lubdaka karya Mpu Tanakung. Karya sastra kekawin ini ternyata bersumber dari Padma Purana.

Melalui kekawin itu, Mpu Tanakung menceritakan kisah seorang papa, si Lubdaka, yang karena melaksanakan brata Siwaratri pada malam Siwa yang suci, akhirnya mendapat anugerah Batara Siwa. Melalui kekawin itu Mpu Tanakung sesungguhnya telah menguraikan aspek-aspek filsafat agama, tata susila agama dan upacara agama menurut ajaran Siwa yang dapat dipakai pedoman dalam kehidupan.

Siwaratri mengandung ajaran penyadaran diri manusia tentang dari mana semua makhluk ini berasal, semua makhluk hidup berkembang dan kemudian ke mana mereka lebur. Selanjutnya dengan akal sehat, sebagaimana disiratkan dalam kitab suci, menemukan dirinya sendiri untuk menjawab apakah realitas tertinggi yang menjadi tujuan dan asal-muasal itu ada. Siwaratri merupakan malam yang penuh kesucian (nirmala). Umat manusia memfokuskan seluruh pikirannya kepada Siwa, penguasa jagat raya. Pelaksanaan brata Siwaratri dapat dikatakan sebagai jalan pendakian menuju pembebasan. (lun)

sumber @ http://www.balipost.com/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id=10276

Menyambut Siwaratri 24 Januari 2009

16.40, Posted by simple, One Comment

 SIWA RATRI - DALAM KONSEPT - KEKINIAN

Hari Siwaratri yang jatuh pada Purwaning Tilem Kapitu, Sabtu 24 Januari 2009 mendatang, merupakan momen yang sangat tepat untuk merenung dan mengendalikan diri. Pada hari suci penuh pengampunan itu, umat Hindu diajak untuk bisa mengekang hawa nafsu dan keinginan yang bersifat duniawi. Nilai-nilai apa yang bisa dipetik dari malam Siwaratri dalam konteks kekinian? Kemudian, apakah figur si pemburu Lubdaka yang diceritakan pada malam Siwaratri masih relevan dengan kehidupan sekarang.

Hidup manusia sebenarnya dibelenggu oleh bhuta kala. Dalam usaha melepas belenggu bhuta kala itu, manusia hendaknya berusaha mendapatkan keseimbangan jasmani dan rohani yang bisa dicapai secara perlahan-lahan dan bertahap. Tidak dimungkiri banyak hambatan yang menghadang ketika manusia ingin mencapai keseimbangan itu. Hambatan itu datangnya tidak hanya dari luar, tetapi juga dari dalam diri manusia itu sendiri perhatikan pupuh dibawah ini.

RAGADI MUSUH MAPARO,

RING HATI YA TUNGGUWANNYA TAN MADOH RING DEWEK

Hawa nafsu, ego adalah musuh yang sangat dekat

Didalam hati letaknya tak jauh dari dalam diri kita sendiri

Siwaratri pada hakikatnya merupakan sebuah ajaran untuk membangkitkan perjuangan umat Hindu untuk selalu sadar akan dirinya yang selalu diancam oleh berbagai hambatan. Upacara Siwaratri bertujuan memberikan pengetahuan kepada manusia agar menyadari bahwa dalam dirinya selalu ada pertarungan antara kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu, sebaik-baiknya manusia, pasti pernah berbuat dosa selama hidupnya. Demikian pula sejelek-jeleknya manusia, pasti pernah berbuat baik selama hidupnya. Hanya saja sejauh mana diri kita mampu untuk mengambil hikmah dari voyeges ini.

Menyadari hal itu, Siwaratri dimaksudkan untuk memberikan motivasi kepada setiap umat Hindu untuk selalu sadar dan berusaha semaksimal mungkin menghindari perbuatan dosa dan selalu berikhtiar untuk memperbanyak perbuatan dharma. Meskipun manusia sulit menghindari perbuatan dosa, bagaimana pun besarnya perbuatan dosa yang telah diperbuatnya, tidak tertutup jalan untuk menuju dharma. Dalam artian jgn ada kalimat kepalang ahh

Siwaratri memotivasi manusia untuk tidak berputus asa kembali ke jalan dharma. Pintu dharma selalu terbuka lebar bagi orang yang sadar akan segala perbuatan dosanya. Cerita Lubdaka, si pemburu yang pekerjaan sehari-harinya berburu binatang, sebagai salah satu contoh. Tetapi, masih relevankah figur Lubdaka yang diceritakan pada malam Siwaratri dengan kehidupan sekarang

Dari kalangan para peminat spiritual, cerita Lubdaka itu diterjemahkan sebagai berikut : Jika seseorang sudah mampu membunuh sifat kebinatangannya, maka timbullah rasa ingin dekat dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Rasa keinginan atau hasrat (kerinduan) itu diwujudkan dengan berbagai cara (berjapam/mengulang-ngulang nama suci Tuhan), beryajna dan sebagainya.

Banyak kalangan yang kurang setuju, jikalau malam Siwaratri sebagai malam penebusan dosa. Karena kepercayaan Hindu, hukum karma itu tidak pandang bulu. Meskipun orang suci, jika berbuat salah tetap akan mendapat hukuman. Reaksi dari perbuatan itu sulit untuk dihapus, maka dari itu ada beberapa pakar yang menyatakan tidak setuju jika malam Siwaratri diistilahkan sebagai malam peleburan dosa.

Umumnya Siwaratri dilaksanakan dengan laku brata : Mona Brata (pengendalian dalam kata-kata). Mona brata sering diistilahkan dengan tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun. Sehingga hal seperti ini bisa menimbulkan kesalah-pahaman. Karena jika seorang teman sedang bertandang kerumah dan menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut, akhirnya menyebabkan orang menjadi tersinggung. Karena dlm kasus ini melakukan tapa mona-brata, justru malah melakukan himsa karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel dan sakti hati lantaran mereka tidak tau kita lagi monobrata. Kalaupun punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya pergi ke hutan atau ketempat yang sunyi, jauh dari keramaian. Nah itu pun jaman dulu kan begitu, nah sebanarnya kalau kita ambil inti sari dari Monobrata, bagaimana kita meminimize ucapan yg negative point kpd orang lain, kurangi berbicara, perbanyak Asmaranam menyebutkan Nama-nama Hyang widhi ( Om Na, Ma, Ci, Wa, Ya ) dsb.

Upawasa yaitu pengendalian dalam hal makan dan minum. Jadi disini ditekankan tidak diharuskan untuk berpuasa/tidak makan dan minum semalam suntuk. Melainkan pengendalian dalam hal makan dan minum. Umat dibebaskan untuk melaksanakan bratanya, mau puasa ya silahkan, tidakpun tidak apa-apa. Hanya saja brata itu berlaku untuk seterusnya. Konsept kekinian makan jangan sampai berlebihan, sedangkan disatu sisi banyak sekali kita melihat saudara kita barangkali bisa makan nasi satu kali sudah angayubagia, nah kalau demikian bagaimana kita melakukan yadnya kita dg menyisihkan makan yg berlebihan itu kita sisihkan / yadnyakan kepada saudara kita yg sangat membutuhkannya, atau dananya kita jadikan dana pendidikan.dllnya

Jagra yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam suntuk hingga menjelang pagi disertai melakukan pemujaan kepada Siwa sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada malam Siwaratri itu yang terpenting adalah begadang demi dia (Siwa). Bukan begadang main gaple atau nonton TV. Tetapi konsept kekinian kita pergunakan berdiskusi, belajar tentang Tatwa, tentang tutur-tutur pinehayuan lan ke ahdiatmikaan, atau barangkali bedah Bhagawagt bisa jadi Manawa dharmasastra, Sarasamuscaya, kekidung lan kekwain dsbnya. Pada keesokan harinya melaksanakan Darma Santhi, pergi saling menungjungi kerumah sahabat, handai toland sambil bermaaf-maafan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Malam Siwaratri bukanlah malam peleburan dosa, melainkan peleburan kepapaan dari kelemahan sifat-sifat manusia. Semua manusia memiliki kepapaan, karena dibelengu oleh ahamkara nafsu-nafsu indrianya/raganya, serta kegelapan yang tak mampu untuk mengintrospeksi dirinya, sehingga kabut gelap yang selalu menyelimutinya.

Itulah sebabnya sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri pada Tilem Kepitu yaitu sehari menjelang Tilem Kepitu. Yang tujuannya semata-mata untuk mengurangi kepapaan dari nafsu-nafsu indria yang dimiliki oleh umat manusia.

Terutama sekali yang berupa Peteng Pitu (7/tujuh) kegelapan yg disebut dgn "Sapta Timira" (tujuh macam kemabukan). Diantaranya adalah, Surupa (mabuk karena rupawan/rupa tampan atau cantik), Dhana (mabuk karena kekayaan), Guna (mabuk karena kepandaian), Kasuran (mabuk karena kemegahan), kulina (mabuk karena keturunan bangsawan), Yowana (mabuk karena keremajaan), Sura (mabuk karena minuman keras).

Ternyata bukan minuman keras saja yang menyebabkan seseorang menjadi mabuk, melainkan juga ke enam keberuntungan itu. Jika tidak hati-hati membawa dan menjaga keberuntungan itu, justru membuat seseorang menjadi sombong dan terjerumuslah dia kedalam kegelapan.

Ingat Penyakit orang Ganteng : Kecendrungannya menjadi Ply Boy / Girl, Penyakit Orang Kaya = adalah Kikir punya makanan lebih baik busuk daripada diberikan kpda orang lain, meskipun sangat dibutuhkannya. Penyakit orang Dharmawan = adalah suka mengungkit ungkit pemberian.

Penyakit orang banyak omong = adalah Gosif dan terkadang berbohong, kalau tidak begitu tidak asyiikkk....he.....he,

Makna hari suci Siwaratri adalah untuk menyadari bahwa seseorang berada dalam pengaruh kegelapan. Kegelapan itulah yang harus diterangi, baik jiwa, pikiran maupun badan jasmaninya. Kegelapan itu harus disingkirkan dengan ilmu pengetahuan rohani.

Yang paling penting sekali adalah berkat dari Sang Hyang Siwa sendiri. Beliaulah yang akan menghapus kepapaan, ketidak berdayaan melawan hawa nafsunya sendiri. Mungkin ribuan orang akan menyoraki dan mencaci maki seorang penjahat yang mendapat hukuman. Bahkan pula dilempari dengan batu. Namun beliau (Sang Hyang Sada Siwa) menangis melihat umat-Nya dalam kesengsaraan. Beliau tidak membenci malah lebih bersimpati pada mereka yang mengalami nasib buruk seperti itu.

Itulah keutamaan Hyang Siwa, tidak membenci siapapun, walaupun penjahat kelas kakap yang dibenci jutaan manusia. Beliau tetap berbelas kasih. Bersedia mengampuni, asal umat-Nya dengan tulus iklas berserah diri, pasrah total kehadapan-Nya.

Beliau sendiri yang akan mebimbing dan memutuskan keadilan-Nya. Maka sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri ini kepada siapa saja. Karena pintu tobat dan pengampunan pada hari itu terbuka lebar-lebar.

Ada lagi disebutkan keutamaan brata Siwaratri dalam lontar "Siwaratrikalpa" buah karya Mpu Tanakung, bahwa jika seseorang mampu melaksanakan laku ; upawasa, mona brata dan jagra pada hari itu, yang tujuannya memuja Sang Hyang Sada Siwa, serta memohon pengampunan-Nya maka karmawasananya akan selalu diperhitungkan oleh sang Surat-atma, kurangi dosa, perbanyaklah bertobat.

Rsi Empu Tanakung juga mengisyaratkan bahwa brata Siwaratri melebihi semua jenis yajna. Untuk itulah, seseorang jangan berputus asa jika sudah terlanjur melakukan kesalahan. Karena Siwaratri bisa dilaksanakan dimana saja (di rumah, di Pura, di tempat sunyi, bahkan di Lembaga Pemasyarakatan / Penjara). Justru disinilah mungkin ( di Lemaga Pemasyarakatan) brata Siwaratri itu dilaksanakan lebih khusuk.

Niyasa yang terungkap dalam Lubdaka Kalpa adalah :

Tilem ke pitu adalah malam yang tergelap dari malam malam lainnya, karena tiada yang lebih gelap dari "SAPTATIMIRA" PETENG PITU"


JAGRA : Mengurangi durasi tidur dengan jalan memperbanyak improvisasi diri dengan memplejari ilmu ilmu keagamaan yang kita yakini "HINDU"

MONOBRATA : Mengurangi pembicaraan yang tidak baik, mempitnah, menipu, gosif, serta berbohong, perbanyak dengan ASMARANAM Melakukan japa mala.

UPAWASA : mengurangi makan yang berlebihan, serta meyadnyakan dananya untuk disumbangkan kepada oran orang yang jauh lebih papa dari kita, baik itu berupa makanan, maupun berbentuk dana-dana yang lainya seperti Rumah- sakit, sekolah, serta buku buku agama. Dllnya.

Pemburu Satwa : Mencari tatwa, dengan membunuh sifat himsa karma ( kebinatangannya, dengan meningkatkan sifat sifat satwan dlm triguna sakti )

Naik Kayu dimalam hari : Munggah kayun dengan statement menghilangkan kegelapan, mulai sejak Siwa linggam dimalam hari, commit untuk selanjutnya harus berubah, karena hari esok harus lebih baik dari yang sekarang, itu prinsip

Inggih suksme pisan niki wantah aturan titiang maring Ide dane pare darmika sinamian, mogi wenten pikenohnyane.

Namaste.


sumber @ http://pasektangkas.blogspot.com/

Dasa Awatara

08.38, Posted by simple, No Comment

Sepuluh Awatara / utusan Tuhan sebagai pemelihara alam yaitu:

1. Matsya Awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai Ikan yang besar yang menyelamatkan manusia pertama dari tenggelam saat dunia dilanda banjir yang maha besar.

2. Kurma Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai kura-kura besar yang menumpu dunia agar selamat dari bahaya terbenam saat pemutaran Gunung Mandara di Lautan Susu (Kesire Arnawa) oleh para Dewa untuk mencari Tirta Amertha (Air suci kehidupan)

3. Waraha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai Badak Agung yang mengait dunia kembali agar selamat dari bahaya tenggelam

4. Nara Simbha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai manusia berkepala singa (Simbha/Sima) yang membasmi kekejaman Raja Hyrania Kasipu yang sangat lalim dan menindas Adharma

5. Wamana Awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai orang kerdil berpengetahuan tinggi dan mulia dalam mengalahkan Maha Raja Bali yang sombong dan ingin menguasai dunia serta menginjak-injak Dharma.

6. Paracu Rama Awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai Rama Parasu yaitu Rama bersenjatakan Kapak yang membasmi para ksatrya yang menyeleweng dari ajaran Dharma.

7. Rama Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai Sang Rama putra raja Dasa Rata dari Ayodya untuk menghanncurkan kejahatan dan kelaliman yang ditimbulkan oleh Raksasa Rahwana dari negara Alengka.

8. Krisna Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai Sri Krisna raja Dwarawati untuk membasmi raja Kangsa, Jarasanda dan membantu Pandawa untuk menegakkan keadilan dengan membasmi Kurawa yang menginjak-injak Dharma.

9. Budha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai putra raja Sododana di Kapilawastu India dengan nama Sidharta Gautama yang berarti telah mencapai kesadaran yang sempurna. Budha Gautama menyebarkan ajaran Budha dengan tujuan untuk menuntun umat manusia mencapai kesadaran, penerangan yang sempurna atau Nirwana.

10. Kalki Awatara yaitu penjelmaan Hyang Widhi yang terakhir yang akan turun untuk membasmi penghinaan-penghinaan, pertentangan-pertentangan agama akibat penyelewengan umat manusia dari ajaran Hyang Widhi (Dharma). Menurut keyakinan umat Hindu, awatara terakhir akan turun apabila memuncaknya pertentangan-pertentangan agama di dunia ini.


my brother @ http://speqlen.co.cc/2008/06/16/dasa-awatara/

MUHAMMAD bukan Juru Selamat Hindu

08.20, Posted by simple, 6 Comments

Beberapa minggu yang lalu, seorang teman mem-forward sebuah e-mail dengan judul "Syahnuhikyat dan Sumaneb" yang berisi serangkaian argumen bahwa Muhammad sebenarnya adalah Kalki Avatar, yaitu Awatara (inkarnasi Tuhan) terakhir yang ditunggu-tunggu umat manusia. Oleh karena itu, segenap umat Hindu dihimbau untuk segera mengikuti ajaran Muhammad SAW (Islam) agar selamat dunia akhirat.

Propaganda semacam ini sebenarnya sudah lama sekali berdengung (atau lebih tepatnya, didengung-dengungkan) dan sempat menjadi perbincangan hangat, baik dalam komunitas Hindu sendiri, Islam, maupun komunitas-komunitas antar agama, bahkan pernah juga dimuat di satu majalah nasional. Isu ini sempat pula mereda hingga kemudian muncul kembali ke permukaan. Melihat usaha yang terus-menerus dari sebagian kalangan untuk memunculkannya kembali, saya cukup yakin bahwa isu ini takkan pernah hilang sama sekali.

Bagaimanapun, sebagai seseorang yang pengetahuan akan sastra sucinya sangat terbatas, saya tidak akan berbicara panjang lebar mengenai ciri-ciri fisik maupun perkiraan waktu turunnya Kalki Avatar.

Awatara, seperti yang telah disinggung sebelumnya, dipercaya sebagai inkarnasi/titisan Brahman/Tuhan, dalam hal ini sebagai Wisnu (Vishnu) atau pemelihara semesta. Dalam kitab-kitab suci, disebutkan bahwa sampai dunia pralina, Tuhan akan menjelma sebanyak sepuluh kali untuk menjaga kelangsungan semesta. Dua di antaranya adalah Sri Rama dan Sri Krsna (cat: Buddha Gautama juga dipercaya sebagai Awatara menurut tradisi, tetapi atas alasan tertentu, saya menolak untuk mempercayainya).

Sebenarnya dengan mudah kita dapat menemukan banyak sekali kelemahan dari hasil penemuan tersebut (yang notabene hanya didasarkan pada interpretasi dan pengalihbahasaan nama semata, yang belum tentu akurat pula). Saya akan menampilkan dua di antaranya:

Dalam Islam, Allah TIDAK Berinkarnasi

Konsep Awatara dalam Hindu jelas-jelas menyebutkan bahwa Awatara merupakan perwujudan/inkarnasi Tuhan di muka bumi. Padahal Quran mengatakan bahwa Tuhan (Allah SWT) TIDAK pernah dan tidak akan mewujudkan diri dalam bentuk duniawi. Jadi konsep Awatara jelas tidak diakomodasi oleh Quran. Satu argumen ini saja sudah dapat meruntuhkan, bahkan menjungkirbalikkan penemuan tersebut.

Muhammad adalah UTUSAN Allah, BUKAN Allah

Bahwa Awatara adalah Tuhan sendiri yang turun tidak saja tertulis dalam nubuat-nubuat Kitab Suci, melainkan juga DINYATAKAN sendiri oleh Awatara tersebut. Mari kita ambil kutipan dari Bhagavadgita 12: 8 berikut ini:
Sri Krsna berkata kepada Arjuna:

"Kepada-Ku sajalah pusatkan pikiranmu dan biarkanlah pemahamanmu berada di dalam-Ku. Hanya di dalam-Ku sajalah nantinya kamu akan hidup. Tentang hal ini tak perlu diragukan lagi"

Di sini Sri Krsna jelas-jelas memposisikan diriNya sebagai TUHAN, karena hanya Tuhan-lah yang dapat mengucapkan (dan mempertanggungjawabkan) ucapan seperti itu. Dalam Gita juga digambarkan bagaimana Sri Krsna menampakkan wujud ILAHI (bukan wujud duniawiNya) pada Arjuna, di mana Arjuna melihat bahwa dunia dan seluruh alam semesta berada DALAM diriNya.

Banyak sekali sloka (ayat) lain dalam Gita yang menyatakan Ketuhanan Krsna ini.

Bagaimana dengan Muhammad? Muhammad tidak pernah satu kalipun menyatakan dirinya sebagai Tuhan, melainkan sebagai utusan Tuhan (perhatikan bunyi bagian kedua dari syahadat: "Aku percaya bahwa Muhammad adalah UTUSAN Allah). Muhammad juga tidak pernah tercatat memperlihatkan sesosok wujud ilahi pada pengikut-pengikutnya. Bahkan, Muhammad sangat ketat memegang peraturan mengenai pemujaan oknum lain selain Allah. Lebih jauh lagi, kita tidak pernah mendengar seorang Muslim menyejajarkan Muhammad dengan Allah kemudian menyembahnya. Kalau begitu, kenapa kita harus mengakui Muhammad sebagai Tuhan?

Ajaran Muhammad TIDAK SINKRON dengan ajaran para Awatara

Seperti yang kita semua ketahui, dasar iman utama umat Hindu adalah Panca Sraddha, di mana salah satu di antaranya adalah REINKARNASI. Ajaran mengenai kelima dasar iman Hindu ini secara KONSISTEN selalu disampaikan oleh seluruh Awatara. Akan tetapi, kita tidak akan pernah menemukan ajaran mengenai reinkarnasi ini dalam Al Quran (kecuali satu ayat yang menyebutkan tentang kelahiran dan kematian berulang-ulang yang ditafsirkan berbeda oleh umat Islam secara umum).

Tentu saja ada kemungkinan bahwa Quran pun sebenarnya menyinggung-nyinggung tentang reinkarnasi, akan tetapi Quran juga memuat konsep lain yang lebih populer dan lebih diimani oleh umat Muslim pada umumnya yaitu konsep surga-neraka yang kekal abadi dan pengadilan akbar pada hari kiamat.

Konsep MOKSHA juga tidak dikenal dalam ajaran Islam. Padahal di sinilah terletak hakikat kesempurnaan seorang manusia menurut Hindu.

Jadi, mungkinkah Kalki Awatara tiba-tiba mengajarkan ajaran yang bertentangan dari ajaran Awatara-Awatara terdahulu (yang notabene adalah diriNya sendiri juga?) Silakan Saudara jawab sendiri.

Kesimpulan

Akhirnya, pikiran jernih dan tenang (viveka) harus selalu dikedepankan dalam mencermati setiap aspek kehidupan, dalam hal ini untuk mengetahui apakah mereka yang menyatakan diriNya sebagai Awatara adalah benar Awatara atau bukan. Terlepas dari ciri-ciri jasmaniah dan kemampuan supranatural, kita dapat simpulkan dari sastra suci bahwa Awatara bersifat welas asih, tulus ikhlas dan tanpa pamrih.

Terakhir, walaupun beberapa ahli Veda menafsirkan bahwa Kalki Avatar "belum" akan turun hingga beribu-ribu tahun lagi, ini tidak berarti bahwa kita bisa bersantai-santai dan menikmati hidup dalam kefanaan. Perwujudan Tuhan yang sesungguhnya adalah ketika kita dapat melihat, merasakan, dan menghayati Tuhan dalam diri kita masing-masing. Dan untuk itu, kita tidak perlu menunggu ribuan tahun, bukan? Dia selalu ada di sini, di sana, di mana-mana. Dapatkah kita melihatNya?

Berpikirlah dengan tenang dan jernih, lihatlah dengan mata hati.

"Aum Ano Badrah Kratawo Yantu Wiswatah"
(Semoga pikiran-pikiran luhur datang dari segala penjuru)

-Rig Veda I:89-


sumber @ http://shinzu-i.blogspot.com/2005/03/muhammad-bukan-juru-selamat-hindu.html

thank untuk saudaraku yang telah menjelaskan dengan sempurna, i love hindu. And will be Hindu forever

Otonan atau Weton

20.40, Posted by simple, No Comment



Otonan atau Ngotonin, yang merupakan peringatan hari kelahiran berdasarkan satu tahun wuku, yakni; 6 (enam) bulan kali 35 hari = 210 hari. Jatuhnya Otonan akan bertepatan sama persis dengan; Sapta Wara, Panca Wara, dan Wuku yang sama. Misalnya orang yang lahir pada hari Rabu, Keliwon Sinta, selalu otonannya akan diperingati pada hari yang sama persis seperti itu yang datangnya setiap enam bulan sekali (210 hari).

Berbeda dengan peringatan hari Ulang Tahun yang hanya menggunakan perhitungan tanggal dan bulan saja, dengan mengabaikan hari maupun wuku pada tanggal tersebut. Misalnya seseorang yang lahir tanggal 10 Januari, maka hari ulang tahunnya akan diperingati tiap-tiap tanggal 10 Januari pada tahun berikutnya (12 bulan kalender).

Otonan diperingati sebagai hari kelahiran dengan melaksanakan upakara yadnya yang kecil biasanya dipimpin oleh orang yang dituakan dan bila upakaranya lebih besar dipuput aleh pemangku (Pinandita). Sarana pokok sebagai upakara dalam otonan ini ada1ah; biyukawonan, tebasan lima, tumpeng lima, gebogan dan sesayut.

Menurut tradisi umat Hindu di Bali, dalam mengantarkan doa-doa otonan sering mempergunakan doa yang diucapkan yang disebut sehe (see) yakni doa dalam bahasa Bali yang diucapkan oleh penganteb upacara otonan yang memiliki pengaruh psikologis terhadap yang melaksanakan otonan, karena bersamaan dengan doa juga dilakukan pemberian simbol-simbol sebagai telah menerima anugerah dari kekuatan doa tersebut.

Sebagai contoh :
Melingkarkan gelang benang dipergelangan tangan si empunya Otonan, dengan pengantar doa : "Ne cening magelang benang, apang ma uwat kawat ma balung besi" (Ini kamu memakai gelang benang, supaya ber otot kawat dan bertulang besi).

Ada dua makna yang dapat dipetik dari simbolis memakai gelang benang tersebut adalah pertama dilihat dari sifat bendanya dan kedua dari makna ucapannya. Dari sifat bendanya benang dapat dilihat sebagai berikut :

1. Benang memiliki konotasi beneng dalam bahasa Bali berarti lurus, karena benang sering dipergunakan sebagai sepat membuat lurus sesuatu yang diukur. Agar hati selalu di jalan yang lurus/benar.

2. Benang memiliki sifat lentur dan tidak mudah putus sebagai simbol kelenturan hati yang otonan dan tidak mudah patah semangat.

Sedangkan dari ucapannya doa tersebut memiliki makna pengharapan agar menjadi kuat seperti memiliki kekuatannya baja atau besi. Disamping kuat dalam arti fisik seperti kuat tulang atau ototnya tetapi juga kuat tekadnya, kuat keyakinannya terhadap Tuhan dan kebenaran, kuat dalam menghadapi segala tantangan hidup sebab hidup ini bagaikan usaha menyeberangi samudra yang luas. Bermacam rintangan ada di dalamnya, tak terkecuali cobaan hebat yang sering dapat membuat orang putus asa karena kurang kuat hatinya.

Dalam rangkaian upacara otonan berikutnya sebelum natab, didahului dengan memegang dulang tempat sesayut dan memutar sesayut tersebut tiga kali ke arah pra sawia (searah jarum jam) dengan doa dalam bahasa Bali sebagai berikut: "Ne cening ngilehang sampan, ngilehang perahu, batu mokocok, tungked bungbungan, teked dipasisi napetang perahu "bencah" (Ini kamu memutar sampan, memutar perahu, batu makocok, tongkat bungbung, sampai di pantai menemui kapal terdampar).

Dari doa tersebut dapat dilihat makna:

1. "Ngilehang sampan ngilehang perahu" bahwa hidup ini bagaikan diatas perahu yang setiap hari harus kesana-kemari mencari sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup ini. Badan kasar ini adalah bagaikan perahu yang selalu diarahkan sesuai dengan keinginan sang diri yang menghidupi kita.

2. "Batu makocok" adalah sebuah alat judi. Kita teringat dengan kisah Pandawa dan Korawa yang bermain dadu, yang dimenangkan oleh Korawa akibat kelicikan Sakuni. Jadi hidup ini bagaikan sebuah perjudian dan dengan tekad dan keyakinan yang kuat harus dimenangkan.

3. "Tungked bungbungan" (tongkat berlobang) adalah bambu yang dipakai kantihan yakni sebagai penyangga keseimbangan samping perahu agar tidak mudah tenggelam karena bambu bila masih utuh memang selalu terapung. "Perahu hidup ini" jangan mudah tenggelam oleh keadaan, kita harus selalu dapat mengatasinya sehingga dapat berumur panjang sampai mempergunakan tongkat (usia tua).

4. "Teked dipasisi napetang perahu bencah" (sampai di pantai menemui perahu / kapal terdampar). Terinspirasi dari sistem hukum tawan karang yang ada pada jaman dahulu di Bali, yakni setiap ada kapal atau perahu yang terdampar di pantai di Bali, rakyat Bali dapat dengan bebas menahan dan merampas barang yang ada .pada kapal yang terdampar tersebut. Maksudnya supaya mendapatkan rejeki nomplok, atau dengan usaha yang mudah bisa mendapatkan rejeki yang banyak.

Demikian luhurnya makna doa yang diucapkan dalam sebuah upacara otonan bagi masyarakat Hindu Bali yang dikemas dengan simbolis yang dapat dimaknai secara fisik maupun psikologis, dengan harapan agar putra-putri yang menjadi tumpuan harapan keluarga mendapatkan kekuatan dan kemudahan dalam mengarungi kehidupan.

sumber @ http://pasektangkas.blogspot.com/

Piodalan Batara Hyang Guru

18.50, Posted by simple, No Comment

Piodalan Batara Hyang Guru

Hari ini Minggu, 18 Januari 2009 umat hindu mengadakan persembahyangan untuk Batara Hyang Guru atau Piodalan Batara Hyang Guru.

Ring Kamulan ngaran Ida Sang Hyang Atma,ring Kamulan tengen bapa ngaran paratma,ring Kamulan kiwa ibu ngaran Sang Hyang Siwatma,ring Kamulan tengah ngaran raganta, metu Brahmadadi meme bapa meraga Sang Hyang Tuduh.(Dipetik dari Lontar Usana Dewa)

Maksudnya:
Di Kamulan disebutkan Sang Hyang Atma, di ruang kanan Pelinggih Kamulan adalah bapa disebut Sang Hyang Paratma, di ruang kiri Kamulan adalah ibu disebut Sang Hyang Siwatma, di ruang tengah Kamulan raganta menjadi Brahma sebagai ibu dan bapa menjadi Sang Hyang Tuduh.
Di hulu pekarangan di setiap rumah umat Hindu di Bali umumnya ada tempat pemujaan keluarga yang disebut Sanggah atau Merajan Kamulan. Dalam Lontar Siwagama dinyatakan bahwa Bhagawan Manohari dari Siwapaksa atas penugasan Sri Gondarapati agar membangun pemujaan yang disebut Kamulan di setiap hulu pakarangan rumah tempat tinggal. Sepuluh pekarangan rumah tinggal memiliki tempat pemujaan yang disebut Pelinggih Pretiwi. Dua puluh pekarangan rumah tinggal memiliki tempat pemujaan yang disebut Pelinggih Ibu. Empat puluh pekarangan rumah tinggal memiliki tempat pemujaan yang disebut Panti. Hal inilah menyebabkan setiap pekarangan umat Hindu di Bali ada tempat pemujaan Kamulan yang umumnya dibangun di hulu pekarangan rumah tinggal.
Menurut beberapa sumber pustaka Hindu di Bali, yang dipuja di Pelinggih Kamulan itu adalah Sang Hyang Atma. Di samping dinyatakan dalam Lontar Usana Dewa yang dikutip di atas juga dinyatakan dalam Lontar Gong Wesi sbb: ...ngarania Sang Hyang Atma, ring Kamulan Tengen bapanta ngaran Sang Paratma, ring Kamulan kiwa ibunta ngaran Sang Siwatma, ring Kamulan madia raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi Sang Hyang Tunggal nunggalin raga.
Demikian pula dalam Lontar Siwagama Sargah sepuluh menyatakan sba: ...kramania Sang Pitara mulihing batur Kamulania nguni. Karena itulah sang Pitara Sang Pitpara pulang ke asal Kamulannya dulu. Hal yang menyatakan lebih tegas lagi bahwa Pelinggih Kamulan sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Atma adalah Lontar Purwa Bumi Kamulan. Lontar ini menguraikan tata cara upacara Nuntun Dewa Hyang di Kamulan. Lontar ini menguraikan amat rinci tentang tata cara menstanakan roh suci leluhur yang disebut Dewa Pitara di Kamulan.
Dalam Lontar Gayatri dinyatakan saat orang meninggal rohnya disebut Preta. Setelah melalui prosesi upacara ngaben roh tersebut disebut Pitra. Setelah melalui upacara Atma Wedana dengan Nyekah atau Mamukur roh itu disebut Dewa Pitara. Upacara ngaben dan upacara Atma Wedana digolongkan upacara Pitra Yadnya. Sedangkan upacara Ngalinggihang atau Nuntun Dewa Hyang dengan menstanakan Dewa Pitara di Pelinggih Kamulan sudah tergolong Dewa Yadnya.
Roh yang disebut Dewa Pitara itu adalah roh yang telah mencapai alam Dewa. Karena Sang Hyang Atma yang sudah mencapai tingkatan Dewa Pitara diyakini setara dengan Dewa. Menstanakan Dewa Pitara di Kamulan juga dinyatakan dengan sangat jelas dalam Lontar Pitutur Lebur Gangsa dan Lontar Sang Hyang Lebur Gangsa.
Dalam Lontar Pitutur Lebur Gangsa dinyatakan sbb: ...muwang ngunggahang dewa pitara ring ibu dengen ring kamulan. Sedangkan dalam Lontar Sang Hyang Lebur Gangsa dinyatakan sbb: muwah banten penyuda mala karahaken pitra ngarania angunggahaken Dewa Pitara ring ibu dengen muang ring Kamulan ngaran. Kedua lontar tersebut menyatakan bahwa menstanakan roh suci leluhur yang disebut Dewa Pitara di Kamulan dengan istilah muwang ngunggahaken Dewa Pitara ring ibu dengan ring Kamulan.
Dalam tradisi Hindu di Bali Dewa Pitara yang distanakan di Pelinggih Kamulan itu disebut Batara Hyang Guru. Dalam Vana Parwa 27.214 dinyatakan ada lima macam Guru yaitu Agni, yaitu sinar suci Hyang Widhi, Atman yaitu unsur yang tersuci dalam diri manusia yang berasal dari Brahman, Mata yaitu ibu yang melahirkan kita, Pita yaitu ayah menyebabkan kita lahir dan Acarya yaitu guru yang memberikan ilmu pengetahuan. Hal inilah yang nampaknya di Bali menjadi ajaran Catur Guru yaitu Guru Swadyaya, Guru Rupaka, Guru Pengajian dan Guru Wesesa.
Karena Atman sebagai salah satu Guru yang dinyatakan dalam Vana Parwa itulah nampaknya menjadi dasar pendirian Kamulan sebagai tempat memuja Dewa Pitara sebagai Batara Hyang Guru. Atman dalam Upanisad adalah Brahman yang ada dalam diri makhluk hidup yang diselubungi oleh Panca Maya Kosa. Untuk menjadikan Atman itu Guru adalah melalui proses upacara ngaben, mamukur dan Nuntun Dewa Pitara. Proses upacara tersebut sebagai simbol untuk melepaskan Atman dari selubung Atman yang disebut Panca Maya Kosa itu. Dengan demikian Atman yang pada hakikatnya Brahman itu langsung tanpa halangan Panca Maya Kosa dapat menjadi Guru dan umat sekeluarga.
Upacara tersebut bagaikan menghilangkan selubung mendung di langit biru yang menutupi sinar matahari sehingga sinar matahari tersebut dapat langsung memberikan penerangan pada bumi ini. Demikianlah proses upacara ngaben untuk melepaskan Atman dari selubung Stula Sarira. Upacara Atma Wedana melepaskan Atman dari selubung Suksma Sarira. Sedangkan upacara Danda Kalepasan adalah upacara untuk mengambil dosa-dosa leluhur oleh keturunannya. Dengan demikian Sang Hyang Atma tanpa selubung lagi sehingga disebut Dewa Pitara.
Upacara Danda Kalepasan di Bali ada yang menyebutnya upacara Maperas yang artinya keturunan orang yang diupacarai itu mengadopsi utang-utang karma leluhur yang diupacarai tersebut. Yang diwarisi oleh keturunan itu bukanlah berupa kekayaan materi saja. Berbagai utang karma dari leluhur itu juga harus diwarisi juga.
Ini artinya pemujaan pada leluhur dalam tradisi Hindu di Bali, baik buruk, lebih kurang dari leluhur itu harus diterima sebagai warisan. Baiknya harus diupayakan untuk terus dipertahankan bahkan dikembangkan eksistensinya supaya lebih berguna bagi kehidupan selanjutnya. Sedangkan buruk dari berbagai kekurangan dari leluhur itu harus direduksi agar tidak berkembang merusak kehidupan selanjutnya.
Pengalaman adalah guru terbaik, demikian orang menyebutkan. Pengalaman yang baik dan buruk dari leluhur itu dijadikan guru dalam hidup ini. Itulah pentingnya pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan.

sumber @  http://pasektangkas.blogspot.com/

Makna Tumpek Landep

18.40, Posted by simple, No Comment



Hari ini Sabtu 17 Januari 2009 merupakan Hari Raya Tumpek Landep bagi umat Hindu, adapun makna tumpek landep akan diuraikan dalam tulisan berikut : Saniscara Kliwon Wuku Landep, seperti biasa umat Hindu merayakan Tumpek Landep. Dalam konteks ritual, umumnya umat Hindu memohon ke hadapan Hyang Widi Wasa agar tiap peralatan teknologi dapat berfungsi tepat guna, memudahkan umat dalam beraktivitas.

Di balik itu, apa sesungguhnya makna Tumpek Landep? Plt. Rektor Institut Hindu Dharma (IHD) Negeri Denpasar Drs. I Gede Rudia Adiputra, M.Ag. mengatakan perayaan Tumpek Landep pada hakikatnya memohon kepada Tuhan agar umat diberikan ketajaman senjata kehidupan. ''Landep itu mengandung makna runcing atau tajam. Jadi yang ditajamkan adalah senjata kehidupan kita. Tumpek Landep dipakai momen untuk menajamkan senjata kehidupan,'' ujar Rudia Adiputra.

Senjata kehidupan itu, kata Rudia, tak lain adalah pikiran. Agar pikiran cerdas, perlu ditajamkan melalui penguasaan ilmu pengetahuan. Melalui pikiran yang tajamlah umat diharapkan mampu menghadapi berbagai musuh dalam diri. Musuh itu yakni persoalan-persoalan kehidupan, antara lain kemiskinan, kebodohan, kegelapan dan sebagainya. ''Berbagai musuh itulah yang mesti kita lawan dengan tajamnya pikiran dan hati nurani,'' ujarnya.

Kata Rudia, menajamkan pikiran itu melalui penguasaan ilmu pengetahuan. Melalui perayaan Hari Saraswati-lah umat Hindu bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa karena telah diturunkannya ilmu pengetahuan. Sementara, dalam Tumpek Landep umat ''mengevaluasi'' apakah tajamnya pikiran lewat penguasaan ilmu pengetahuan sudah mampu digunakan dengan baik.

Kata Rudia, salah besar jika ada anggapan bahwa Tumpek Landep dimaknai otonan kendaraan. Pada Tumpek Landep umat sejatinya memohon keselamatan agar senjata kehidupannya bisa bermanfaat demi kesejahteraan umat manusia. Pun kendaraan, senjata dan alat-alat teknologi tercipta dari olah pikir manusia. Dalam ritual Tumpek Landep, alat-alat itu diharapkan dapat berfungsi untuk memudahkan aktivitas manusia sekaligus bermakna bagi kehidupan bersama.

Makna bagi Seniman
Tumpek Landep pun memiliki makna tersendiri bagi para seniman. Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Negeri Denpasar Prof. Dr. Wayan Rai S, M.A. mengatakan Tumpek Landep sebagai momen penting untuk mempertajam kemampuan seni bagi seorang seniman.

Perayaan Tumpek Landep itu hendaknya dijadikan tonggak untuk memantapkan diri dalam berkesenian yakni menajamkan penciptaan, teknik garapan dan sebagainya. Untuk bisa membuat garapan yang betul-betul metaksu, perlu ada upaya dari dalam maupun luar diri seniman.

Kata Rai, Tumpek Landep erat sekali hubungannya dengan taksu. Secara umum, para seniman sudah melakukan pemujaan saat memulai berkesenian. Tetapi dalam perayaan Tumpek Landep, para seniman lebih memantapkan diri melakukan penajaman melalui persembahyangan agar metaksu. Dengan mengosongkan pikiran untuk memuja Tuhan, diharapkan muncul inspirasi dan spirit baru.

Sebagai bentuk ritual memuja Dewa Kesenian dalam Tumpek Landep, para seniman biasanya mengupacarai atribut tari seperti gelungan, keris, tombak dan lain-lain. ''Dengan melangsungkan ritual seperti itu para seniman berharap agar selalu diberikan ketajaman dalam berkesenian,'' katanya.

Penajaman itu tak hanya lewat keterampilan atau latihan, tetapi juga spiritual. Sehingga para seniman mampu tampil tajam atau metaksu. ''Untuk bisa metaksu, seorang seniman harus meraihnya melalui kedua aspek yakni fisik maupun mental,'' katanya.

Aspek fisik melalui latihan-latihan menabuh dan menari. Aspek mental melalui pendalaman-pendalaman keilmuan dan kaitannya dengan keyakinan terhadap Ida Sang Hyang Widi, sehingga mampu tajam atau metaksu dalam penampilan.

sumber @ http://pasektangkas.blogspot.com/

Makna Meru di Penataran Agung Besakih

18.34, Posted by simple, No Comment



Saddosah puruseneha
hatavya bhutimicchata
nidra tandra bhayam
krodham alsyam dirgasutrata
(Udyogaparva. 33.78)
Maksudnya:
Orang yang menginginkan hidup sejahtera di dunia ini, hendaknya meninggalkan enam sifat-sifat yang tidak baik yaitu suka tidur (nidra), malas (tandra), selalu takut (bhaya), marah (krodha), tidak bersemangat (alasaya), suka mengulur waktu untuk menyelesaikan pekerjaan (dirgasutrata).

Di Pura Penataran Agung Besakih pada Mandala kedua agak ke kanan berdiri dua bangunan suci atau pelinggih berbentuk Meru Tumpang Sebelas dan Tumpang Sembilan. Tumpang dalam hal ini artinya tumpukan tau tingkat. Meru Tumpang Sebelas artinya bangunan berbentuk Meru tumpukan atau tingkatan atapnya sebanyak sebelas tumpuk atau tingkat. Dua meru ini juga sangat menjelaskan tentang arti dan makna memuja Tuhan bagi umat Hindu.

Dalam ajaran Hindu, Tuhan dipuja bukan untuk sekadar memujanya. Pemujaan pada Tuhan untuk didayagunakan untuk membina kehidupan di bumi ini agar menjadi semakin bahagia lahir batin.

Meru Tumpang Sebelas di Pura Penataran Agung Besakih umumnya umat Hindu menyebutkan sebagai tempat pemujaan Ratu Manik Maketel. Dari sudut arti kata hal itu memiliki arti yang sangat baik. Manik dalam bahasa Bali adalah suatu jenis permata yang sangat berharga dan sangat mulia. Maketel artinya tertumpah. Dari memuja Tuhan sebagai Ratu Manik Maketel ini memiliki padanan dengan istilah Manik Sakecap artinya apa pun yang diucapkan, dilaksanakan orang berdasarkan pikiran yang utama bagaikan manik selalu memiliki nilai yang sangat tinggi.

Dari segi sebutannya sebagai Ratu Manik Maketel di Meru Tumpang Sebelas, Tuhan dipuja untuk memohon diturunkannya SDM yang memiliki kemampuan Manik Maketel atau Manik Sakecap.

Artinya SDM yang bukan asal bunyi dan ngomong sembarangan saja. Dengan memuja Tuhan di Meru Tumpang Sebelas berarti memuja Tuhan untuk memohon agar manusia mendapatkan karunia Tuhan dalam menyelenggarakan pendidikan SDM baik formal, nonformal dan informal.

Ini berarti makna pemujaan Tuhan tersebut akan bermanfaat untuk membangkitkan kekuatan diri agar menjadi manusia yang memiliki kekuatan utama bagaikan ''Manik Maketel atau Manik Sakecap''. Tujuan pemujaan Tuhan agar memiliki kekuatan bagaikan manik itu tidak akan menjadi kenyataan kalau hanya berhenti pada memuja Tuhan di Meru Tumpang Sebelas di Pura Penataran Agung Besakih. Pemujaan Tuhan sebagai Ratu Manik Maketel di Penataran Agung Besakih itu baru tahap membangun kekuatan spiritual yang berasal dari hubungan manusia dengan Tuhan. Hal itu akan menjadi kenyataan apabila dilanjutkan dengan upaya manusia sendiri untuk membangun kekuatan intelektual dan kehalusan emosionalnya.

Intelektual yang cerdas dan emosional yang halus akan dapat bersinergi dengan keheningan spiritualitas. Sinergi antara emosional, intelektual dan spiritual itulah yang akan melahirkan SDM yang berkualitas bagaikan Manik Maketel. Ini artinya membangun SDM yang berkualitas itu hendaknya mendayagunakan nilai-nilai keagamaan (Ketuhanan), ilmu pengetahuan dan apresiasi seni budaya.

Dengan agama atau Ketuhanan manusia menguatkan spiritualitasnya untuk mengarahkan hidupnya secara benar dan tepat. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia membangun kecerdasan intelektualitasnya untuk mencapai berbagai kemudahan hidup. Dan, dengan apresiasi seni budaya manusia membangun kepekaan emosionalnya untuk mencapai kehalusan rasa.

Dengan sinergi itu seseorang akan bisa menghilangkan enam sifat yang wajib ditinggalkan bagi mereka yang menghendaki hidup sejahtera di dunia ini. Enam hal yang seyogianya ditinggalkan dinyatakan dalam Udyogaparwa yang dikutip dalam tulisan ini. Kalau enam hal itu masih melekat dalam diri seseorang maka tidak mungkin ia menjadi SDM yang Manik Sekecap atau SDM yang berkualitas.

Meru Tumpang Sembilan di Pura Penataran Agung Besakaih itu terletak di sebelah kanan Meru Tumpang Sebelas stana Tuhan sebagai Ratu Manik Maketel. Di Meru Tumpang Sembilan di Pura Penataran Agung Besakih itu disebut sebagai stana Ratu Kubakal. Menurut I Gusti Agung Gede Putra (alm), mantan Dirjen Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha, menyatakan kata Kubakal itu berasal dari bahasa Bali kuna yang artinya bekal atau logistik.

Ini artinya memuja Tuhan sebagai Ratu Kubakal dengan media Pelinggih Meru Tumpang Sembilan itu adalah bermakna untuk memohon kelestarian sumber daya alam sebagai sumber tersedianya kebutuhan akan pangan, sandang dan papan yang memadai. Tentunya sama juga halnya dengan memuja Tuhan sebagai Ratu Manik Maketel. Hal itu hanyalah bersifat awal menguatkan aspek spiritual.

Kalau tidak dilanjutkan dengan menguatkan aspek intelektual dan kepekaan emosional maka hal itu hanyalah akan berhenti pada gagasan yang sangat idealis. Ia harus dilanjutkan dengan langkah-langkah nyata dengan bekal mental spiritual tersebut. Meski demikian, lewat pemujaan Tuhan sebagai Ratu Kubakal itu dapat disosialisasikan bahwa memuja Tuhan itu juga menguatkan gagasan-gagasan murni untuk mengembangkan sumber daya alam sebagai landasan membangun ekonomi agraris. Ekonomi agraris itu sebagai landasan semua sistem ekonomi. Dengan kuatnya ekonomi agraris itulah manusia baru bisa menuju ekonomi industri, baik berupa barang maupun jasa.

Dengan adanya pemujaan Tuhan sebagai Ratu Manik Maketel dan Ratu Kubakal di Meru Tumpang Sebelas dan Tumpang Sembilan ini berarti dalam sistem beragama Hindu di Bali sudah ada perhatian yang seimbang antara pengembangkan sumber daya manusia dan sumber daya alam untuk kehidupan yang semakin sejahtera lahir batin.

Dengan dharma sebagai landasan filosofi membangun SDM yang berkualitas dan dengan Rta sebagai landasan filosofi menjaga sistem alam yang lestari sepanjang masa. Tanpa dharma dan Rta manusia dan alam akan saling menghancurkan. Tentunya yang akan paling merasakan derita itu adalah manusia itu sendiri. Karena itu marilah makna lebih nyata pemujaan kita pada Tuhan untuk meningkatkan keseimbangan antara gaya hidup kita dengan daya dukung alam demi kelangsungan hidup ini.

sumber @ http://pasektangkas.blogspot.com/

'Krama' Bali Jangan Mau Dibodohi @ Caplok Danau, Bentuk Kejahatan Lingkungan

15.33, Posted by simple, No Comment

'Krama' Bali Jangan Mau Dibodohi
Caplok Danau, Bentuk Kejahatan Lingkungan
Denpasar (Bali Post)
Keluarnya izin prinsip dari Bupati Buleleng Bagiada untuk pengelolaan Danau Buyan sangat disesalkan oleh Ketua Komisi III DPRD Bali Drs. Wayan Gunawan. 'Itu artinya sama dengan menghancurkan Bali,' katanya, Senin (19/1).

Jika izin itu dijadikan alasan pejabat atasan untuk mengeluarkan izin berarti mereka sama-sama bersekongkol menghancurkan Bali. Termasuk Menteri Kehutanan kalau sampai mengeluarkan izin pemanfaatan hutan di kawasan danau 60 hektar itu sama dengan menghancurkan Bali.

Sementara itu, anggota Komisi IV DPRD Bali Si Ketut Mandiranatha, S.H. mengharapkan PHDI Bali berani tegas menolak investor yang berinvestasi di kawasan suci Danau Buyan, karena melanggar bhisama kesucian pura. Masyarakat Bali diharapkan hati-hati terhadap penjarahan kawasan suci, lebih-lebih kapitalis bermodal besar yang bekerja sama dengan pengambil kebijakan.

Ketua Komisi I Made Arjaya mengharapkan berbagai pihak untuk tidak melakukan kebohongan publik terkait proyek Danau Buyan. Untuk itu pihaknya akan segera turun untuk mengecek perizinan ke lapangan. Hal serupa juga dinyatakan anggota Komisi I DPRD Bali Drs. Dewa Badra. 'Kita harus berani menolak kalau sampai investor melakukan pembohongan publik, jangan-jangan pertanian organik yang melibatkan petani hanya kamuflase untuk menarik simpati,' katanya.

Gunawan menyarankan Dewan tak perlu turun ke lapangan. Jika Dewan ikut turun sama saja dengan menyetujui keinginan Gubernur Bali mengkaji proyek tersebut. Mengkaji proyek di kawasan suci sama saja dengan memberikan peluang investor untuk menghancurkan Bali.



Dibodohi



Penentangan terhadap rencana investasi dengan efek perubahan struktur alam di Danau Buyan juga datang dari Ketua Umum Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Drs. I Nyoman Kadia, Selasa (20/1) kemarin. Ia menilai investor telah menggunakan istilah ekowisata dan pariwisata budaya sebagai media untuk menutupi kepentingan investasinya. 'Ekowisata bukan berarti mencaplok kawasan hulu. Ekowisata harus dibangun dengan akses alami sesuai kondratnya, bukan dikondisikan secara vulgar oleh kekuatan modal dan ambisi manusia,' kritiknya.

Kandia mengingatkan bahwa pertemuan para pramuwisata dunia di Bali telah merekomendasikan keputusan untuk menentang dan memboikot program pengembangan infrastruktur kawasan wisata yang memperkosa alam. 'Konsep ekowisata jangan disalahartikan. Selaku orang Bali yang berkecimpung di dunia pariwisata, saya terlalu sering mendapat protes dan keluhan bahwa alam Bali sudah hancur. Biarkan kawasan hulu Bali yang menjadi kawasan resapan air bebas dari kepentingan investasi. Krama Bali jangan mau dibodohi dengan janji-janji keuntungan investasi, padahal efeknya bagi keseimbangan ekosistem lingkungan jauh lebih mahal,' tegasnya.

Kandia meminta pengambil keputusan mendengar aspirasi publik, bukan malah tergiur oleh bayangan keuntungan dan peluang kongkalikong. Kandia juga menentang investasi fisik ke kawasan hulu, terlebih merupakan kawasan suci umat Hindu. 'Pariwisata jangan selalu dikaitkan dengan infrastruktur fisik. Alam Bali sudah sangat menderita oleh serbuan fisik dengan dalih pariwisata berbasis lingkungan. Politisasi istilah pariwisata lingkungan dan berbudaya yang diterjemahkan dengan pembangunan di tepi jurang, mencaplok kawasan hutan lindung termasuk danau, patut dikategorikan sebagai bentuk kejahatan terhadap lingkungan,' tegasnya.

Komisaris PT Anantara Lila Sukotjo dihubungi per telepon Senin (19/1) menyatakan bahwa izin prinsip yang dikeluarkan Bupati Bagiada bukan untuk panggung terapung di Danau Buyan, tetapi izin prinsip terkait rencana mengelola dan mengembangkan kawasan Danau Buyan. 'Kami belum mengantongi izin Menteri Kehutanan (Menhut) untuk memanfaatkan lahan hutan 60 hektar di kawasan Danau Buyan,' tegasnya.

Lila Sukotjo membenarkan sesuai Perda 3 Tahun 2005 kawasan Danau Buyan termasuk kawasan suci bagi umat Hindu. Namun dalam perda tersebut tak ada ditegaskan bahwa di kawasan suci tersebut dilarang dimanfaatkan untuk hiburan. Hanya dalam pemanfaatan di kawasan suci tersebut harus diperhatikan daerah resapannya. 'Kami sepakat menjaga kesucian Danau Buyan dengan membersihkan danau dan limbah domestik, termasuk menormalisasi danau tersebut,' katanya. (029/044)

sumber @ http://www.balipost.com/mediadetail.php?module=detailberita&kid=10&id=10152