RSS : Articles / Comments


Pura Ulun Danu Buyan Diabaikan

18.19, Posted by simple, No Comment

Pura Ulun Danu Buyan Diabaikan

NASIB Pura Ulun Danu Buyan memang tak sebagus nasib pura ulun danu lain di Bali. Sepanjang sejarah ternyata pura itu tak pernah selesai diperbaiki, bahkan dalam rentang waktu beberapa tahun pura itu sempat tak memiliki pangempon secara resmi dan tak terurus dengan baik. Kondisi itu diperparah dengan sikap pemerintah yang seperti mengabaikan keberadaan pura tersebut, padahal pura itu diyakini sebagai pelindung sumber amerta Danau Buyan.

Untungnya, sejak tiga tahun belakangan ini krama Sad Desa, yakni Desa Pakraman Pancasari, Amertasari, Gitgit, Padangbulia, Pumahan dan Wanagiri mulai jengah. Krama Sad Desa yang menjadi pangempon pangarep Pura Ulun Danu Buyan itu mulai menggalang dana untuk membangun pura agar bagus atau setidaknya bisa menyamai pura khayangan jagat lain di Bali.

Rasa jengah itu muncul ketika air Danau Buyan surut ratusan meter dari tepi danau. Selain disebabkan faktor secara sekala, para prajuru pangempon pura tersebut meyakini bahwa surutnya air danau itu juga disebabkan oleh faktor niskala. Antara lain kondisi pura yang sepertinya tak mendapat perhatian serius. Bangunan palinggih-nya tak lengkap. Bahkan, terdapat dua palinggih, yakni surya dan taksu tempatnya tertukar. Tertukarnya tepat dua palinggih itu terjadi ketika diadakan pemugaran oleh pemerintah daerah pada zaman orde baru dulu. Saat itu pemugaran sepenuhnya dilakukan pemerintah.

Untuk itu, prajuru pangempon kemudian melakukan berbagai pertemuan, selain untuk membangun kembali dua palinggih yang tertukar, mereka juga berkeinginan untuk membangun sejumlah palinggih dan bangunan yang belum ada di areal pura tersebut. Bangunan yang belum ada hingga sekarang adalah Palinggih Gedong Manik Galih, Bale Pedatengan, Bale Panjang dan Bale Gong. Bale Pangaruman memang sudah ada, namun kini kondisinya rusak berat.

Yang baru bisa dilakukan adalah membangun dua palinggih yang tertukar, yakni surya dan taksu. Kini bangunan tersebut sudah selesai, namun belum di-pelaspas. Pembangunan dua palinggih itu menghabiskan dana Rp 48,5 juta. Dana itu diperoleh dari urunan dari Sad Desa masing-masing sebesar Rp 500 ribu dan urunan subak di wilayah Sukasada dan Buleleng masing-masing Rp 500.000. Bantuan lainnya dari Yayasan BOA Rp 10 juta dan Pemprov Bali Rp 30 juta. Sama sekali tak ada bantuan dari Pemkab Buleleng, meski pangempon sempat mengajukan proposal.

Selain melakukan pelestarian danau secara niskala, pangempon pura ternyata melakukan kegiatan secara sekala, misalnya melakukan penanaman pohon di pinggir danau serta melakukan pengerukan untuk membuat sowan di pinggir danau. 'Itu semua dilakukan secara swadaya agar air danau bisa pulih kembali,' kata Wakil Klian Pangempon Pura, Ritama.

Mata Air

Pada saat melakukan pengerukan tepi danau dengan menggunakan alat berat itulah tiba-tiba muncul belasan mata air di tepi danau. Awalnya, para pangempon ingin menciptakan sowan di tepi danau. Karena dulu di tepi danau itu memang terdapat sejumlah sowan, seperti sowan besi, sowan perak dan sowan emas, yang dipercaya sebagai sowan suci. Ketika dilakukan pengerukan ternyata alat berat yang digunakan untuk mengeruk pinggir danau itu terbenam dan tak bisa digerakkan. Di areal alat berat yang terbenam itu kemudian muncul sejumlah mata air yang hingga kini airnya masih mengalir.

Ternyata munculnya mata air tersebut tak mendapat respons dari pemerintah. Mungkin munculnya mata air tersebut dianggap sebagai peristiwa biasa yang memang seharusnya terjadi. Namun bagi pangempon pura dan sejumlah warga di sekitar pura meyakini bahwa munculnya mata air tersebut merupakan paica dari Ida Sang Hyang Widhi yang harus disyukuri. 'Karena itulah kami melakukan upacara mendak tirta di areal munculnya mata air tersebut,' katanya.

Biaya yang dihabiskan untuk upacara mendak tirta tersebut sekitar Rp 16 juta. Semuanya sumbangan masyarakat, sama sekali tak ada dana dari Pemkab Buleleng. Selain melakukan upacara mendak tirta, pangempon juga berencana membangun palinggih di areal munculnya mata air tersebut yang akan difungsikan secara spiritual sebagai palinggih pasimpangan Dewi Danu dan sebagai pura beji. Namun rencana itu belum terwujud karena tak ada biaya.

Selama ini, Ritama mengakui setiap kegiatan di Pura Ulun Danu selalu dilakukan secara swadaya. Pada saat pujawali, misalnya, Pemkab Buleleng memang memberi bantuan sebesar Rp 3 juta. Namun dana yang dihabiskan bisa mencapai Rp 40 juta hingga Rp 50 juta. Dana itu ditutupi dengan iuran dari Sad Desa, desa dinas se-Kecamatan Sukasada dan subak yang jumlahnya sekitar 120 subak yang ada di Sukasada dan Buleleng. 'Saat pujawali desa adat masing-masig mengeluarkan iuran Rp 500.000, masing-masing desa dinas dan subak mengeluarkan iuran Rp 250.000. Tetapi tidak semuanya membayar, dan pangempon tak bisa memaksa,' ujarnya.

Bangun Taman

Ritama menyatakan pihaknya menolak investor yang hendak membangun akomodasi, hiburan dan pariwisata di tengah danau sebagaimana direncanakan PT Anantara. Meskipun, misalnya investor memberi kontribusi yang besar kepada Pura Ulun Danu Buyan. Selain dinilai membuat kesucian danau jadi tercemar, nantinya danau tersebut bisa saja akan dikuasai oleh investor secara arogan. 'Kita sebagai krama bisa saja masuk ke areal danau dengan membayar karcis yang harganya mahal,' katanya.

Untuk itu, Ritama mengusulkan dilakukan penghijauan di tepi danau dengan menanam pohon-pohon perindang yang asri. Selain penghijauan di sekitar danau bisa dibangun taman-taman sederhana sebagai tempat rekreasi keluarga. 'Pengelolaan taman itu bisa diserahkan kepada pangempon pura, misalnya pangempon diberikan pembagian dana yang dipungut dari karcis masuk ke areal taman. Meski kontribusi yang diperoleh sedikit, namun kawasan danau tetap terpelihara baik,' katanya.

Dihubungi terpisah, Ketua PHDI Bali IGN Sudiana meminta Pemprov Bali maupun Pemkab Buleleng mengalokasikan dana segar setiap tahunnya untuk membantu aci piodalan di Pura-pura strategis seperti Pura Ulun Danu Buyan. Apalagi, pura itu sudah nyata-nyata merupakan pura sungsungan jagat sehingga tanggung jawab itu sudah sewajarnya diambil alih oleh pemerintah daerah.

'Tentu sangat memberatkan jika tanggung jawab itu sepenuhnya dibebankan kepada krama pangempon yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Kalau memang benar pemerintah daerah belum membantu pembiayaan aci piodalan di Pura Ulun Danu Buyan, saya berharap pemerintah daerah segera merancang anggaran biaya itu,' katanya penuh harap. (ole/ian)


http://www.balipost.com/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id=10543

Related Posts by Categories



No Comment