RSS : Articles / Comments


Tempat Melimpahkan Keselamatan Umat

17.28, Posted by simple, No Comment


Tempat Melimpahkan Keselamatan Umat
KEINDAHAN alam kawasan danau Buyan (Buliyan) dan Danau Tamblingan memang menakjubkan. Kawasan itu membawa pengaruh kesucian dan ketenteraman batin bagi siapa saja yang datang berkunjung menikmati pemandangan alamnya. Keindahan dan kesan kesucian itu akhir-akhir ini menjadi perhatian kaum pebisnis untuk memanfaatkannya secara ekonomi. Namun sebelum mengambil keputusan, ada baiknya kita membuka buku sejarah, lontar, prasasti dan bhisama-bhisama yang terkait dengan kawasan itu, sekaligus mencoba meninjau proyek-proyek wisata dari aspek spiritual-religius.

Kawasan Suci

Rg Veda Samhita, Mandala VIII, Sukta 6.28 menyatakan: upahvare girinam samgathe ca nadinam, dhiya vipro ajayata: (Indra) yang bijaksana telah dilahirkan oleh upacara suci di atas lereng-lereng gunung, di antara danau dan sungai-sungai. Reg Veda Samhita, Mandala II, Sukta 35.3: sam anya ganty upa yanty anyah, samanam urvam nadyah prnanti, tam u sucim sucayo didivamsam, apam napatam pari tasthur apah: beberapa aliran air berkumpul bersama, yang lainnya bergabung dengannya, bagaikan sungai-sungai mereka mengalir bersama menuju suatu tempat penampungan (danau/laut), air murni telah berkumpul mengelilingi kekuatan, bening/suci dan bersinar kemilauan. Selain itu, Atharvaveda XII.1.38 menyatakan pula: yasyam sadoha virdhane yupo yasyaam nimiyate, brahmano yasyamaracantyurgbhih samna yajurvidah, yujyante yasyamrtvijah somam indraya patave: di tempat-tempat suci, di mana didirikan yupa/pura tempat para brahmana yang menguasai Yayurveda memuja Tuhan dengan Rgveda dan merapalkan Samaveda, di sanalah Tuhan melimpahkan kebahagiaan dan keselamatan bagi umat manusia.

Berdasarkan kitab-kitab suci Veda itulah, Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat telah mengeluarkan Keputusan Nomor: 11/Kep/I/PHDIP/1994 tanggal 25 Januari 1994 tentang Bhisama Kesucian Pura, di mana ditetapkan bahwa kawasan suci di Bali meliputi gunung, danau, campuhan (pertemuan sungai-sungai), pantai, dan laut. Selain itu kawasan suci meliputi pula lingkungan lokasi pura yang dibedakan menjadi Pura-pura Sad Kahyangan, Dang Kahyangan, Kahyangan Jagat, pura dari pagujuban warga, dan Sanggah/Pamerajan. Wilayah kesucian yang patut dijaga mencakup lingkungan sekitar Pura-pura ditetapkan dengan jarak dalam istilah apenimpug, apeneleng, apengambuhan, dan apenyengker. Apenimpug adalah jarak yang diperoleh dengan melemparkan batu sebesar genggaman oleh seorang dewasa. Apeneleng adalah jarak batas kemampuan mata memandang. Apengambuhan adalah jarak terciumnya bau yang tidak sedap akibat berbagai aktivitas manusia. Apenyengker adalah batas tembok pura atau sanggah/pamerajan.

Dalam kitab suci Wisnu Purana, gunung disucikan karena diyakini sebagai stana Dewa Wisnu, yakni manifestasi Hyang Widhi (Tuhan YME) sebagai pemelihara dan pemberi kemakmuran kepada umat manusia. Demikian pula air dalam wujud sebagai mata-air, danau, sungai dan laut yang memberikan kehidupan dan kesuburan alam semesta. Dalam pengertian ini terkandung prinsip utama bahwa tiada kehidupan makhluk apa pun dapat bertahan tanpa adanya air yang bersumber dari hutan di pegunungan.

Lebih lanjut Parisada dalam keputusan itu menetapkan bahwa konsep Tri Hita Karana harus dipertahankan agar terwujud kesejahteraan umat manusia. Tri Hita Karana adalah tiga hal yang menyebabkan kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan, yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut sebagai parhyangan, hubungan yang harmonis antara sesama manusia yang disebut sebagai pawongan, dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam semesta yang disebut sebagai palemahan. Tri Hita Karana telah diyakini kebenarannya, tidak hanya oleh pemeluk Hindu saja tetapi juga oleh masyarakat dunia, karena bila sudah satu hubungan itu tidak harmonis maka malapetaka akan menimpa dunia dan umat manusia serta makhluk lainnya.

PHDI menegaskan, dalam upaya menjaga kawasan suci dan terwujudnya Tri Hita Karana, maka kegiatan pembangunan fisik sarana dan prasarana oleh pihak pemerintah maupun swasta harus mengikutsertakan umat Hindu dan memohon persetujuan para sulinggih (pendeta) mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasannya. Pada keputusan Parisada di atas, ditetapkan pula bahwa di kawasan suci hanya boleh ada bangunan yang terkait dengan kehidupan beragama Hindu misalnya dharmasala, ashram, dll. yang menunjang kegiatan umat Hindu melakukan ritual, pendalaman rohani, tirtayatra, dharma-wacana/dharma-tula, dharma-gita, dharma-sadhana, dll.

'Sanghyang Naga Tiga'

Dalam Lontar Kusuma Dewa diungkapkan tentang keadaan Batara di bhuwana agung (jagat raya) sebagai Maha Meru yang puncaknya mencapai angkasa dan pangkal dasarnya menembus sapta petala. Maha Meru atau gunung adalah tempat pertemuan para dewata dalam menciptakan ala (keburukan) dan ayu (kebaikan) di dunia. Oleh karena demikian, pentingnya peranan gunung, maka gunung dibelit (dijaga) oleh Sanghyang Naga Tiga, yaitu yang terbawah adalah Sanghyang Naga Anantabhoga sebagai perwujudan Batara Brahma, yang di tengah adalah Sanghyang Naga Basuki sebagai perwujudan Batara Wisnu, dan yang di puncak adalah Sanghyang Naga Taksaka sebagai perwujudan Batara Iswara. Batasan bagian bawah gunung adalah sapta petala, di mana lapisan ketujuh yang disebut ratala adalah magma dan zat-zat panas yang disebut juga Bedawangnala. Kata 'bedawangnala' berasal dari: 'beda' artinya ruang, 'wang' artinya keberadaan, dan 'nala' artinya api. Bedawangnala disimbulkan sebagai kura-kura. Keajegan gunung ditentukan oleh keutuhan bedawangnala. Oleh karena itu bedawangnala dibelit oleh dua naga yaitu Sanghyang Naga Anantabhoga dan Sanghyang Naga Basuki. Anantabhoga artinya sumber makanan, dan Basuki artinya keselamatan. Dari pengertian-pengertian di atas dapatlah disimpulkan, Lontar Kusuma Dewa menggugah kesadaran bahwa bumi dengan intinya gunung adalah sumber kemakmuran, sumber makanan yang tidak habis bagi kesejahteraan manusia sebagai anugerah Batara Brahma, Batara Wisnu dan Batara Iswara, yang harus dijaga keajegannya.

Ki Barak dengan Ki Panji Landung

Dalam sejarah (Babad Buleleng) ditulis bahwa pada tahun 1611 (Masehi), di atas Danau Buyan (sebelah utara) muncullah secara misterius Batara Ki Panji Landung yang mengangkat Ki Barak ke atas telapak tangannya, serta mengatakan bahwa kelak, Ki Barak akan menjadi raja di wilayah yang dilihatnya dari ketinggian tubuh/tangan Ki Panji Landung. Wilayah itu adalah Den Bukit. Anugerah Ki Panji Landung ini menjadi kenyataan, karena tak lama kemudian Ki Barak berhasil menewaskan penguasa Den Bukit di masa itu yang bernama Pungakan Gendis. Beliau kemudian menjadi raja pertama Den Bukit bergelar Kiyai Anglurah Panji Sakti.

Tulisan Minggu besok akan mengulas tentang Prasasti Tamblingan tahun 844 Saka dan Pura-pura yang ada di kawasan Bedugul. (*)


Oleh Bhagawan Dwija

sumber @ http://www.balipost.com/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id=10274

Related Posts by Categories



No Comment